Catatan Kang Adhie

Mencoba menilai Tanpa Menghakimi

Mencoba Menilai Tanpa Menghakimi

Sabtu

 

Oleh: Abdurrahman Wahid

Dalam ICIS (International Conference of Islamic Scholars) baru-baru ini, para peserta berbeda sengit tentang sebuah isu: perlukah adanya sebuah negara Islam atau tidak. Dalam konferensi yang dihadiri para peserta dari 46 negara itu, penulis menunjuk kepada sebuah kenyataan, bahwa Indonesia bukanlah sebuah negara Islam. Ia adalah negara tidak berdasarkan agama. 

Dan semua warga negaranya memiliki hak yang sama. Memang ada 5 buah agama yang “diakui” pemerintah, tapi pengakuannya itu hanya untuk mempermudah pemberian bantuan kepada mereka oleh negara. Inipun sekarang mulai ditentang orang, karena dalam kenyataan agama Konghucu juga memiliki pengikut dalam jumlah besar yaitu sekitar 5 juta orang. 

Dengan berjalannya waktu, dapat diperkirakan bahwa nantinya, entah berapa tahun lagi, negara akan mengakui Konghucu sebagai agama yang perlu di dukung pemerintah, seperti 5 agama lain itu.

Karuan saja informasi penulis itu disanggah oleh sejumlah utusan/peserta seperti Ayatulloh Taskhiri dari Universitas Teheran di Iran. Ia dan DR. Wahbah Zuhaili dari Syiria, berkeras dengan pernyataan Islam harus membentuk sebuah negara guna memungkinkan pemberlakuan Syari’ah (hukum Islam) secara kongkret untuk berperan dalam kehidupan bernegara. 

Penulis menjawab, bahwa pemikiran negara agama tadinya memang ada dalam pembentukan negara , dalam kedudukan selaku Piagam Jakarta yang terletak dalam UUD 45. Tapi kemudian para wakil dari seluruh gerakan Islam di Indonesia, ketika pihak gerakan non muslim mengajukan keberatan, maka rumusan itu kemudian dikeluarkan dari UUD 45. 

Bahwa masih ada partai-partai Islam, yang berusaha tidak henti-hentinya untuk menegakkan sebuah negara Islam, menunjukkan bahwa pikiran tersebut belum sama sekali hilang dalam kehidupan beragama kaum muslimin di negeri kita. Ini adalah sesuatu yang harus diterima sebagai kenyataan.

Memang gerakan-gerakan Islam dimanapun juga, selalu “dihantui” oleh masalah ini, sehingga tidak heran jika persolannya tidak pernah kunjung selesai. Di sinilah terletak perbedaan prinsipil antara Islam dan lain-lain. 

Sebagian kaum muslimin, jika benar-benar ia ingin dinilai sebagai muslim sejati,.menganggap bahwa syari’ah “hukum Islam” adalah kalam Illahi yang tidak dapat diubah-ubah oleh siapapun. Sementara itu, pihak lain selalu menganggap bahwa syari’ah adalah gagasan “keputusan-keputusan agama” yang harus disesuaikan kepada kebutuhan hidup kaum muslimin, kecuali beberapa hal prinsip saja. 

Dengan kata lain, negara juga harus mampu mengikuti perubahan-perubahan hukum yang diingini, karena itu negara harus fleksibel terhadap perubahan-perubahan yang dibutuhkan.

Contohnya, yaitu Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) yang disahkan oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948. Dalam deklarasi tersebut, berpindah agama adalah hak asasi yang dimiliki siapapun dan dapat digunakan sewaktu-waktu, sedangkan fiqh/Syari’ah (hukum Islam), menentukan bahwa orang berpindah agama dari agama Islam ke agama lain, dapat dijatuhi hukuman mati. 

Sebab perpindahan dari agama Islam ke agama lain, merupakan tindak kemurtadan (apostasy), yang dapat dihukum mati. Karenanya, berkesesuaian dengan Deklarasi PBB itu, maka literatur hukum agama tentang hal ini pun harus diubah. Untuk itu, negara yang ada “haruslah netral”, berarti bukan negara agama. Kaitannya walaupun masing-masing pihak dalam negara itu “berkeras” dengan pendiriannya, namun pada akhirnya berujung pada sebuah “kompromi”. 

Dalam keadaan demikian masing-masing pihak saling menghormati pendirian pihak lain, sambil bersiteguh pada “ kebenaran” yang dimilikinya.

Pihak yang mewajibkan adanya negara Islam, secara sungguh-sungguh telah berusaha mencapai tujuan itu dengan berbagai cara. Konsep demi konsep telah dipaparkan yang terakhir adalah konsep “wilayat-i faqih” (pemerintahan para ahli fiqh) yang dikemukakan oleh Alm. Imam Ayatulloh Ruhollah Khomeini dari Iran dalam paruh kedua abad ke-20 Masedi. 

 Pandangan beliau itu, pada akhirnya tertuang dalam konstitusi Republik Islam Iran yang dipakai kini di negeri tersebut. Kekuasaan pemerintahan pada dasarnya tertuang dalam 4 bagian. Bagian petama adalah kekuasaan eksekutif, yang dipegang oleh Presiden, yang dipilih langsung oleh rakyat. Kekuasaan legislatif dipegang oleh Parlemen (Majelis), juga dipilih langsung oleh rakyat. 

Kekuasaan Yudikatif terletak ditangan Mahkamah Agung yang diangkat oleh Presiden dengan persetujuan Majelis.

Di luar itu, ada kekuasaan tertinggi yang dapat membatalkan/menganulir keputusan dari kekuasaan eksekutif dan legislative. Badan yang diserahi tugas ini adalah Dewan Para Ahli Agama (Khubrigan) yang beranggotakan 80 orang yang komposisinya dari para anggota yang telah ada (sleeve perpetuating), sehingga dengan demikian tidak tunduk kepada “ pilihan awam.

” Inilah yang membuat mengapa sistem pemerintahan di Iran itu tidak dapat diterima oleh “pihak barat’ sebagai sistem yang demokratis. Dalam pandangan mereka, demokrasi senantiasa terkait dengan liberalisme atau menjadi demokrasi liberal. 

Dalam sistem yang demikian, kekuasaan rakyatlah yang menentukan segala-galanya, sehingga di luar itu tidak ada yang dianggap demokratis. Karena itulah, semboyan mereka adalah vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan).

******

Sebagai isu politik, soal ada tidaknya negara Islam adalah sesuatu yang tidak akan pernah dipecahkan secara konsepsional. Soalnya menjadi terpulang kepada keyakinan kaum muslimin sendiri. Pertama, kalau ia berpikir, bahwa hukum agama adalah sesuatu yang permanen datang dari Allah dan manusia tidak boleh merubahnya, maka dengan sedirinya ia akan sampai kepada pandangan bahwa hukum tersebut adalah dalam bentuk syari’ah yang harus diterapkan oleh negara, dan itu berarti perlunya konsep negara Islam. 

Sebaliknya dengan pendirian kedua, mereka yang beranggapan bahwa syari’ah adalah tugas masyarakat untuk merumuskan dan melaksanakan, dan bukanya negara, tidak merasa perlu akan adanya sebuah negara agama. 

Kaum muslimin yang berpikiran seperti ini sekarang merupakan mayoritas gerakan-gerakan Islam di negeri ini, sedangkan mereka yang berpegang pada pendirian pertama tadi, tetap menganggap perlu adanya sebuah negara Islam hanyalah minoritas. Pihak itu pada saat ini diwakili oleh beberpa “Partai Islam” yang berdiri di tanah air kita, lengkap dengan perbedaan-perbedaan teologis di antara mereka sendiri.

Karena kita adalah negara demokratis, dengan sendirinya haruslah dibiarkan mereka hidup di negeri ini, dan tergantung kepada rakyat sendiri untuk memilih parlemen yang memiliki pandangan pertama ataupun kedua.

Dalam pandangan penulis, garis perjuangan yang ditetapkan oleh kehidupan politik kita mengacu kepada pendirian kedua. Kekuatannya berasal dari kalangan gerakan Islam Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dengan “dukungan” dari non gerakan Islam, gerakan nasionalis, golongan etnis dan beberapa golongan non-muslim, sehingga terbentuk sebuah koalisi politik yang tidak tampak dan tidak diproyeksikan oleh siapapun. “Islamisasi” terjadi tidak pada sistem kenegaraan, melainkan “kesadaran bermasyarakat”.

Karena itulah di berbagai kalangan “gerakan nasionalis” selalu didengungkan istilah ‘kaum nasionalis beragama” atau  “kaum beragama yang nasionalistik”. Sebenarnya pengunaan kedua istilah tersebut sangat riskan, dan terkesan menyederhanakan bentuk-bentuk perjuangan kenegaraan yang sangat kompleks. 

Namun keduanya terpaksa digunakan saat ini (Karena belum dijumpai istilah-istilah yang sesuai dengan kenyataan yang ada). 

Ternyata, pencarian kedua istilah itu mudah dikatakan, namun sulit dilakukan, bukan?

Jakarta, 11 April 2004
Surabaya News

Kamis



Surat Ali Imran:
(قل ان كنتم تحبون الله فاتبعوني يحببكم الله ويغفر لكم ذنوبكم والله غفور رحيم (ال عمران:٣١ )

Artinya: “Katakanlah, jika kamu benar menyintai Allah, ikutilah aku; maka Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.”
Hampir semua orang beragama mengaku menyintai Allah, tapi mungkin tidak terlalu banyak yang berusaha mengikuti jejak RasulNya, kecuali dalam pengakuan. Ini boleh jadi karena keengganan untuk lebih mengenal Rasulullah SAW sebelum mengaku mengikuti jejaknya.
Pada umumnya orang merasa tidak punya waktu untuk membaca sunnah Rasulullah SAW agak sedikit komplit. Umumnya, orang membaca, menulis, atau menyampaikan hadis Nabi Muhammad SAW -bahkan Al-Quran- sebatas yang sesuai dengan kecenderungan mereka yang bersangkutan. 

Hal ini tidak mengapa, asal tidak sampai meninggalkan atau melewatkan nilai penting -apa pula yang terpenting- dari nilai-nila mulia Rasulullah SAW. Nilai yang apabila kita ikuti merupakan dakwah tersendiri yang pasti tidak kalah dari dakwah-dakwah kreasi kita sendiri.

Dalam kesempatan kali ini, saya akan tampilkan sifat utama Rasulullah SAW yang sesuai dengan misi utamanya. Satu dan lain hal agar kita yang di muara ini dapat sedikit melihat beningnya Mata Air.

Seperti dinyatakan oleh al-Qur’an sendiri dan persaksian para sahabat beliau, Panutan agung kita Nabi Muhammad SAW adalah seorang yang berakhlak sangat mulia. Imam Bukhari meriwayatkan dari sahabat Anas ra. yang berkata:

“لم يكن رسول الله صلى الله عليه وسلم فاحشا ولا لعانا ولا سبابا ..”
 “ Rasulullah SAW orangnya tidak keji dan kasar, Bukan tukang melaknat, dan tidak suka mencaci..”

 Imam Bukhari juga meriwayatkan pernyataan Masruq r.a.yang mirip pernyataan Anas:

” لم يكن رسول الله صلى الله عليه وسلم فاحشا ولا متفاخشا وانه كان يقول ان خياركم احاسنكم اخلاقا “
“ Rasulullah SAW bukanlah orang yang keji dan suka bicara kotor. Beliau bersabda: ‘Sesungguhnya orang-orang terbaik di antara kalian ialah orang-orang yang paling baik pekertinya”.
Sahabat Anas yang pernah meladeni Rasulullah SAW selama sepuluh tahun tidak pernah sekalipun mendengar Rasulullah SAW membentaknya. (Lihat persaksiannya yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).

Bahkan Imam Bukhari meriwayatkan: Orang-orang Yahudi datang kepada Rasulullah SAW dan berkata “As-saamu ‘alaikum!” (bukan Assalaamu ‘alaikum), “Kematian bagimu!”. Sayyidatina ‘Aisyah pun menyahut: “Kematiaan juga bagi kalian dan juga laknat Allah dan murka Allah!” Rasulullah SAW pun menegur: “Tenang, ‘Aisyah; jagalah kelembutan, jangan kasar dan keji!” Sayyidatina ‘Aisyah masih menjawab: “Apakah Rasulullah tidak mendengar apa yang mereka katakan?” 

Rasulullah bersabda: “Apakah kau tidak mendengar apa yang aku katakan? Aku telah mengembalikan doa mereka kepada mereka (Rasulullah sudah menjawab “wa’alaikum” yang artinya “bagi kalian juga”) doaku atas mereka diijabahi dan doa mereka terhadapku tidak”.

Alangkah mulianya akhlak Rasulullah! Sampai pun sikap buruk mereka yang membencinya, tidak mampu membuat beliau meradang; bahkan menasehati isterinya agar tetap bersikap lembut; tidak kasar dan keji.

Akhlak yang mulia ini, sesuai benar dengan missi Rasulullah SAW seperti disabdakannya sendiri,
” انما بعثت لاتمم صالح الاخلاق “
“ Aku diutus semata-mata untuk menyempurnakan kebaikan akhlak”. (Imam Ahmad dari Sa’ied bin Manshur dari Abdul ‘Aziez bin Muhammad dari Muhammad bin ‘Ajlaan dari al-Qa’qaa’ bin Hakiem dar Abi Shaleh dari Abu Hurairah).
Bandingkan akhlak Rasulullah SAW itu dengan banyak penganutnya yang gemar melaknat dan mencaci bahkan terhadap saudaranya sendiri. (Baca juga: Habaib dan PBNU Sepakat, Perpecahan Umat Bukan Ajaran Nabi dan Islam)
Sehebat apapun taqwa orang Islam, pastilah tidak mungkin melebihi taqwa Rasulullah SAW. Menyamai saja tidak. Sebesar apapun ghierah atau semangat beragama orang Islam, pastilah tidak mungkin melebihi ghierah dan semangat beragamanya Rasulullah SAW. Menyamai saja tidak. 

Hanya saja dalam ghierah dan semangat beragama itu, dalam membela Allah dan agamaNya, Rasulullah SAW tidak mengikut sertakan nafsunya. Boleh jadi nafsu inilah yang membedakan; nafsu inilah yang membuat seolah-olah banyak muslim masa kini tampak lebih bersemangat dari Rasulullah sendiri. Padahal tidak.

Seandainya umat Islam mau meniru sifat mulia Rasul mereka itu dan mengikuti jejaknya, pastilah banyak persoalan-persoalan keumatan, khususnya dalam pergaulan hidup mereka sendiri, dapat dengan mudah teratasi. Allahummahdinaa fiiman hadaita..

Sumber: GusMus.net
 

Oleh: Abdurrahman Wahid

Beberapa waktu yang lalu, Parlemen Perancis mengesahkan sebuah undang-undang yang melarang pemakaian Jilbab (Hijab) di lembaga pendidikan dan lembaga milik pemerintah negara anggur itu. Dengan suara mendukung  494 melawan 36, parlemen menerima rancangan undang-undang tersebut, yang lebih dulu disetujui oleh pemerintahan Perancis. Karuan saja hal itu menimbulkan reaksi cukup hebat di kalangan kaum muslimin seluruh dunia. 

Padahal, undang-undang yang disahkan parlemen itu tidak dikhususkan bagi orang-orang Islam saja, yang sekarang merupakan kelompok kedua terbesar di negeri tersebut. Undang-undang yang ditujukan kepada semua pihak, menyatakan bahwa sekolah-sekolah negeri dan semua lembaga milik negara tidak memperkenankan penggunaan “simbol” yang berhubungan dengan agama tertentu. 

Berarti ia juga berlaku bagi penganut Katolik dan Yahudi Orthodok  yang menggunakan tutup kepala kecil (kippa) untuk menyatakan keyakinan mereka. Lain halnya, jika pemakaian jilbab/hijab itu dilakukan oleh sekolah-sekolah dan lembaga swasta itu.

Besarnya reaksi kaum muslimin atas undang-undang tersebut, karena ada salah informasi yang mereka terima. Seolah-olah peraturan tersebut ditujukan hanya terhadap kaum muslimin saja. Distorsi itu berakibat cukup fatal karena dihembus-hembuskan oleh media internasional yang tidak menggunakan informasi yang benar tentang hakekat undang-undang  itu sendiri. 

Padahal untuk memahami adanya peraturan tersebut, diperlukan pengetahuan cukup tentang latar belakang permasalahannya. Informasi keliru ditambah langkanya pengetahuan akan latar belakang diberlakukannya peraturan tersebut, mengakibatkan reaksi yang sangat besar di dunia Islam. 

Di samping sikap acuh tidak acuh yang diperlihatkan dunia politik Perancis termasuk birokrasinya, mengakibatkan sangat sedikitnya informasi yang tersebar di kalangan kaum muslimin sedunia. Ini berbeda dengan kalangan Yahudi, yang cukup dewasa menangapinya, sehingga tidak terdengar hingar-bingar reaksi dikalangan mereka. 

Reaksi kaum muslimin tersebut juga diperparah oleh kenyataan bahwa ada “pertentangan sengit” antara mereka yang menghendaki dan mereka yang menolak gagasan “negara Islam”. Hal itu terjadi juga, ketika Nahdlatul Ulama (NU) bekerjasama dengan pihak Departemen Luar Negeri menyelenggarakan Konferensi Cendikiawan Islam International di Jakarta baru-baru ini. 

Dalam kesempatan itu, minimal di luar sidang-sidang konferensi itu, terdapat reaksi cukup besar yang menggambarkan ketidakmengertian sangat luas atas undang-undang tersebut. Reaksi itu antara lain diperlihatkan oleh sementara peserta yang tidak memperoleh pengetahuan yang cukup akan hal itu. 

Sementara pihak kaum muslimin “garis keras” di Perancis sendiri, yang demi kepentingan tertentu, rela menggalang reaksi atau mendorong reaksi keras tersebut.

Padahal, penulis tahu persis, bahwa terdapat peluang sangat besar melalui “diskusi-diskusi bertanggung jawab” antara pihak kaum muslim dengan pemerintah Perancis untuk merubah undang-undang tersebut. Persolannya terletak pada cukup besarkah pengaruh undang-undang itu menutup kebebasan” bagi pemakai Jilbab/Hijab di negeri itu. Kalau cukup besar, dengan sendirinya akan diamandemen oleh Parlemen di Perancis, kalau tidak , maka undang-undang itu akan terus berlaku sebagai “aturan permainan” bagi semua pihak. Ini tentu saja tidak hanya bagi kaum muslim belaka melainkan juga bagi orang-orang Yahudi di negeri tersebut.
*****
Tentu saja, undang-undang itu ada latar belakang historisnya, sehingga tidak adil kalau kita mengemukakan penilaian atasnya tanpa mengetahui sejarahnya. Latar belakang itu dimulai 4 abad yang lalu, ketika bangsa Perancis harus mengambil keputusan atas pertentangan tajam antara berbagai kalangan agama, sehingga dibutuhkan “netralitas” negara untuk mengatasi pertentangan yang sudah cenderung menjadi sesuatu yang bersifat fisik itu.

Netralitas itu disepakati haruslah berupa kebiasaan-kebiasaan dan peraturan-peraturan yang tidak membela agama manapun dan negara harus mengupayakan agar peraturan-peraturan yang ada tidak “berbau” agama. Ini adalah jenis “sekularisasi aktif” yang mencerminkan sikap pemerintahan untuk menolak pemberian dukungan dalam bentuk apapun kepada agama manapun. 

Sikap ini dalam bahasa Perancis disebut sebagai “Laicite” (sikap membela orang awam secara umum bukanya kelompok keyakinan tertentu). Nah, pandangan bangsa Perancis yang tidak menganggap penting kelompok tertentu ini, sering kali dipahami orang sebagai pandangan “menentang agama”. Ini merupakan sebuah “keadaan khusus” yang berbeda dari pandangan yang umum berlaku di negeri-negeri lain. 

Ditambah pula oleh begitu banyak karya-karya para penulis dan para sineas/pembuat film Perancis, yang seperti dibiasakan mengkritik dan mengejek agama, ditambah pula, sikap orang awam di negeri itu yang “menjauhi” agama.

Dengan mengetahui latar belakang historis dari pembuatan undang-undang yang melarang jilbab/Hijab itu, dengan sendirinya kita lalu tahu, bahwa “perasaan” keagamaan orang Perancis, sebenarnya tidak terlalu jauh, atau bahkan sama dengan pandangan banyak bangsa-bangsa lain. Sikap untuk secara aktif menjaga pemisahan agama dari  negara, sebenarnya bukanlah sikap yang harus ditentang atau minimal diragukan komitmennya kepada agama. 

Karena itulah, tidak mengherankan jika justru di Perancis ada pusat kegiatan yang dinamai “Dunia Islam” (Le Monde Musulman), yang memiliki kegiatan bermacam-macam untuk mempromosikan agama Islam. Namun, pemerintah Perancis tidak memiliki sangkut paut dengan pusat tersebut. 

 Di beberapa Universitas di negeri itu didirikan pusat-pusat kajian tentang Islam dan kaum muslimin. Bahkan negara sangat menghargai langkah-langkah untuk mengembangkan agama di negeri itu, seperti dikatakan Presiden Jacques Chirac ketika ditemui penulis dan Imam Besar Masjid Paris di Istana Elysee beberapa bulan yang lalu.

Karena beberapa hal yang diuraikan di atas, penulis beranggapan tidak ada yang aneh dengan undang-undang yang melarang pemakaian Jilbab/Hijab serta topi Yahudi atau simbol agama lainnya di lembaga-lembaga yang dinaungi oleh pemerintah Perancis. 

Adalah sesuatu yang janggal kalau kita lalu marah dan menganggap bangsa Perancis “membenci” Islam karena undang-undang tersebut. Banyak yang tidak dilihat orang, adalah peluang cukup besar dalam konstitusi Perancis saat ini, untuk upaya melalui pengadilan guna menghapuskan larangan berdasarkan undang-undang itu. 

Dengan kata lain secara dewasa kita harus memahaminya sebagai sebuah proses berjangka panjang. Ini adalah sesuatu yang biasa dan normal-normal saja dalam perjalanan hidup sebuah bangsa.

Di sinilah kita melihat arti demokratisasi yang sesungguhnya, yaitu segala sesuatu harus diputuskan melalui pemungutan suara, jika terdapat perbedaan faham mengenai soal yang diperdebatkan, tanpa harus emosi dan berfikir untuk memecahkan masalah di luar undang-undang.

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan, bahwa menilai sebuah perkembangan suatu negeri, bukanlah hal yang mudah dilakukan. Kalau kita ceroboh kita justru dapat berbuat sebaliknya dari yang kita ingini: kita lalu menghentikan sebuah proses yang secara histories dapat membawa kepada apa yang tidak kita ingini. 

Ketika konstitusi kelima (cinquieme constitution)  lahir puluhan tahun yang lalu, ketika itu para migran muslim dari luar belum banyak yang datang ke Perancis. Kini kaum migran dari Maroko, Aljazair dan negeri-negeri Afrika yang mayoritas penduduknya beragama Islam, telah banyak yang menjadi warga negara Perancis dan menjadikan pemeluk agama tersebut kelompok terbesar kedua di Perancis. 

Sudah tentu ini membawakan akibat-akibatnya sendiri dalam tata hubungan sosial Perancis, sehingga logis saja kalau lalu lahir tuntutan-tuntutan yang saling bertentangan di dalamnya .

Dalam menghadapi tuntutan demi tuntutan yang saling bertentangan itu, mereka menggunakan kebijakan yang luwes tentang persolan yang harus dihadapi. Fasilitas umum kini juga merupakan hal-hal yang harus diselenggarakan pemerintah untuk kelompok-kelompok khusus, seperti kaum muslimin itu, menjadi kebutuhan sehari-hari yang dianggap “biasa “ di negeri itu, termasuk fasilitas olahraga yang khusus dirancang untuk mereka. 

Ini tentu akan membawakan tuntutan-tuntutannya sendiri, dan dengan demikian menyembulkan “wajah baru” di negeri itu. Para politisi tentu tidak akan mudah begitu saja memutuskan pemberlakuan hal-hal yang dianggap merugikan Islam. 

Dengan demikian, sikap yang arif adalah membiarkan semua proses itu berjalan secara alami dan “wajar”. 

Karenanya kita memang harus banyak bersabar. Hal ini mudah dikatakan, namun sulit dilakukan, bukan?

Jakarta,  1 Maret 2004

Sinar Harapan

Rabu



Tentara Nasional Indonesia (TNI) lahir dalam kancah perjuangan bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan dari ancaman Belanda yang berambisi untuk menjajah Indonesia kembali melalui kekerasan senjata. TNI merupakan perkembangan organisasi yang berawal dari Badan Keamanan Rakyat (BKR). Selanjutnya pada tanggal 5 Oktober 1945 menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), dan untuk memperbaiki susunan yang sesuai dengan dasar militer international, dirubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI).

Dalam perkembangan selanjutnya usaha pemerintah untuk menyempurnakan tentara kebangsaan terus berjalan, seraya bertempur dan berjuang untuk tegaknya kedaulatan dan kemerdekaan bangsa. Untuk mempersatukan dua kekuatan bersenjata yaitu TRI sebagai tentara regular dan badan-badan perjuangan rakyat, maka pada tanggal 3 Juni 1947 Presiden mengesyahkan dengan resmi berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Pada saat-saat kritis selama Perang Kemerdekaan (1945-1949), TNI berhasil mewujudkan dirinya sebagai tentara rakyat, tentara revolusi, dan tentara nasional. Sebagai kekuatan yang baru lahir, disamping TNI menata dirinya, pada waktu yang bersamaan harus pula menghadapi berbagai tantangan, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Dari dalam negeri, TNI menghadapi rongrongan-rongrongan baik yang berdimensi politik maupun dimensi militer. Rongrongan politik bersumber dari golongan komunis yang ingin menempatkan TNI dibawah pengaruh mereka melalui “Pepolit, Biro Perjuangan, dan TNI-Masyarakat:. Sedangkan tantangan dari dalam negeri yang berdimensi militer yaitu TNI menghadapi pergolakan bersenjata di beberapa daerah dan pemberontakan PKI di Madiun serta Darul Islam (DI) di Jawa Barat yang dapat mengancam integritas nasional. Tantangan dari luar negeri yaitu TNI dua kali menghadapi Agresi Militer Belanda yang memiliki organisasi dan persenjataan yang lebih modern.

Sadar akan keterbatasan TNI dalam menghadapi agresi Belanda, maka bangsa Indonesia melaksanakan Perang Rakyat Semesta dimana segenap kekuatan TNI dan masyarakat serta sumber daya nasional dikerahkan untuk menghadapi agresi tersebut. Dengan demikian, integritas dan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia telah dapat dipertahankan oleh kekuatan TNI bersama rakyat.

Sesuai dengan keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB), pada akhir tahun 1949 dibentuk Republik Indonesia Serikat (RIS). Sejalan dengan itu, dibentuk pula Angkatan Perang RIS (APRIS) yang merupakan gabungan TNI dan KNIL dengan TNI sebagai intinya. Pada bulan Agustus 1950 RIS dibubarkan dan Indonesia kembali ke bentuk Negara kesatuan. APRIS pun berganti nama menjadi Angkatan Perang RI (APRI).

Sistem demokrasi parlementer yang dianut pemerintah pada periode 1950-1959, mempengaruhi kehidupan TNI. Campur tangan politisi yang terlalu jauh dalam masalah intern TNI mendorong terjadinya Peristiwa 17 Oktober 1952 yang mengakibatkan adanya keretakan di lingkungan TNI AD. Di sisi lain, campur tangan itu mendorong TNI untuk terjun dalam kegiatan politik dengan mendirikan partai politik yaitu Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IP-KI) yang ikut sebagai kontestan dalam Pemilihan Umum tahun 1955.

Periode yang juga disebut Periode Demokrasi Liberal ini diwarnai pula oleh berbagai pemberontakan dalam negeri. Pada tahun 1950 sebagian bekas anggota KNIL melancarkan pemberontakan di Bandung (pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil/APRA), di Makassar Pemberontakan Andi Azis, dan di Maluku pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS). Sementara itu, DI TII Jawa Barat melebarkan pengaruhnya ke Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Aceh. Pada tahun 1958 Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI/Permesta) melakukan pemberontakan di sebagian besar Sumatera dan Sulawesi Utara yang membahayakan integritas nasional. Semua pemberontakan itu dapat ditumpas oleh TNI bersama kekuatan komponen bangsa lainnya.

Upaya menyatukan organisasi angkatan perang dan Kepolisian Negara menjadi organisasi Angkatan Bersenjata Republika Indonesia (ABRI) pada tahun 1962 merupakan bagian yang penting dari sejarah TNI pada dekade tahun enampuluhan.

Menyatunya kekuatan Angkatan Bersenjata di bawah satu komando, diharapkan dapat mencapai efektifitas dan efisiensi dalam melaksanakan perannya, serta tidak mudah terpengaruh oleh kepentingan kelompok politik tertentu. Namun hal tersebut menghadapi berbagai tantangan, terutama dari Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai bagian dari komunisme internasional yang senantiasa gigih berupaya menanamkan pengaruhnya ke dalam tatanan kehidupan bangsa Indonesia termasuk ke dalam tubuh ABRI melalui penyusupan dan pembinaan khusus, serta memanfaatkan pengaruh Presiden/Panglima Tertinggi ABRI untuk kepentingan politiknya.

Upaya PKI makin gencar dan memuncak melalui kudeta terhadap pemerintah yang syah oleh G30S/PKI, mengakibatkan bangsa Indonesia saat itu dalam situasi yang sangat kritis. Dalam kondisi tersebut TNI berhasil mengatasi situasi kritis menggagalkan kudeta serta menumpas kekuatan pendukungnya bersama-sama dengan kekuatan-kekuatan masyarakat bahkan seluruh rakyat Indonesia.

Dalam situasi yang serba chaos itu, ABRI melaksanakan tugasnya sebagai kekuatan hankam dan sebagai kekuatan sospol. Sebagai alat kekuatan hankam, ABRI menumpas pemberontak PKI dan sisa-sisanya. Sebagai kekuatan sospol ABRI mendorong terciptanya tatanan politik baru untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 45 secara murni dan konsekwen.

Sementara itu, ABRI tetap melakukan pembenahan diri dengan cara memantapkan integrasi internal. Langkah pertama adalah mengintegrasikan doktrin yang akhirnya melahirkan doktrin ABRI Catur Dharma Eka Karma (Cadek). Doktrin ini berimplikasi kepada reorganisasi ABRI serta pendidikan dan latihan gabungan antara Angkatan dan Polri. Disisi lain, ABRI juga melakukan integrasi eksternal dalam bentuk kemanunggalan ABRI dengan rakyat yang diaplikasikan melalui program ABRI Masuk Desa (AMD).

Peran, Fungsi dan Tugas TNI (dulu ABRI) juga mengalami perubahan sesuai dengan Undang-Undang Nomor: 34 tahun 2004. TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. TNI sebagai alat pertahanan negara, berfungsi sebagai: penangkal terhadap setiap bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa, penindak terhadap setiap bentuk ancaman sebagaimana dimaksud di atas, dan pemulih terhadap kondisi keamanan negara yang terganggu akibat kekacauan keamanan.

Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.

Tugas pokok itu dibagi 2(dua) yaitu: operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang.

Operasi militer selain perang meliputi operasi mengatasi gerakan separatis bersenjata, mengatasi pemberontakan bersenjata, mengatasi aksi terorisme, mengamankan wilayah perbatasan, mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis, melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri, mengamankan Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarganya, memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta, membantu tugas pemerintahan di daerah, membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang, membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala negara dan perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia, membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan, membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (search and rescue) serta membantu pemerintah dalam pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan dan penyelundupan.

Sementara dalam bidang reformasi internal, TNI sampai saat ini masih terus melaksanakan reformasi internalnya sesuai dengan tuntutan reformasi nasional. TNI tetap pada komitmennya menjaga agar reformasi internal dapat mencapai sasaran yang diinginkan dalam mewujudkan Indonesia baru yang lebih baik dimasa yang akan datang dalam bingkai tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahkan, sejak tahun 1998 sebenarnya secara internal TNI telah melakukan berbagai perubahan yang cukup signifikan, antara lain:

  • Pertama, merumuskan paradigma baru peran ABRI Abad XXI.
  • Kedua, merumuskan paradigma baru peran TNI yang lebih menjangkau ke masa depan, sebagai aktualisasi atas paradigma baru peran ABRI Abad XXI. 
  • Ketiga, pemisahan Polri dari ABRI yang telah menjadi keputusan Pimpinan ABRI mulai 1-4-1999 sebagai Transformasi Awal.
  • Keempat, penghapusan Kekaryaan ABRI melalui keputusan pensiun atau alih status. (Kep: 03/)/II/1999).  
  • Kelima, penghapusan Wansospolpus dan Wansospolda/Wansospolda Tk-I.
  • Keenam, penyusutan jumlah anggota F.TNI/Polri di DPR RI dan DPRD I dan II dalam rangka penghapusan fungsi sosial politik. 
  • Ketujuh, TNI tidak lagi terlibat dalam Politik Praktis/day to day Politics. 
  • Kedelapan, pemutusan hubungan organisatoris dengan Partai Golkar dan mengambil jarak yang sama dengan semua parpol yang ada.
  • Kesembilan, komitmen dan konsistensi netralitas TNI dalam Pemilu.
  • Kesepuluh, penataan hubungan TNI dengan KBT (Keluarga Besar TNI).
  • Kesebelas, revisi Doktrin TNI disesuaikan dengan Reformasi dan Peran ABRI Abad XXI. 
  • Keduabelas, perubahan Staf Sospol menjadi Staf Komsos.
  • Ketigabelas, perubahan Kepala Staf Sosial Politik (Kassospol) menjadi Kepala Staf Teritorial (Kaster). 
  • Keempatbelas, penghapusan Sospoldam, Babinkardam, Sospolrem dan Sospoldim. 
  • Kelimabelas, likuidasi Staf Syawan ABRI, Staf Kamtibmas ABRI dan Babinkar ABRI.
  • Keenambelas, penerapan akuntabilitas public terhadap Yayasan-yayasan milik TNI/Badan Usaha Militer. 
  • Ketujuhbelas, likuidasi Organisasi Wakil Panglima TNI. 
  • Kedelapanbelas, penghapusan Bakorstanas dan Bakorstanasda. 
  • Kesembilanbelas, penegasan calon KDH dari TNI sudah harus pensiun sejak tahap penyaringan; 
  • Keduapuluh, penghapusan Posko Kewaspadaan;
  • Keduapuluhsatu, pencabutan materi Sospol ABRI dari kurikulum pendidikan TNI. 
  • Keduapuluhdua, likuidasi Organisasi Kaster TNI. 
  • Keduapuluhtiga, likuidasi Staf Komunikasi Sosial (Skomsos) TNI sesuai SKEP Panglima TNI No.21/ VI/ 2005. 
  • Keduapuluh empat, berlakunya doktrin TNI Tri Dharma Eka Karma (Tridek) menggantikan Catur Dharma Eka Karma (Cadek) sesuai Keputusan Panglima TNI nomor Kep/2/I/2007 tanggal 12 Januari 2007.
Sebagai alat pertahanan negara, TNI berkomitmen untuk terus melanjutkan reformasi internal TNI seiring dengan tuntutan reformasi dan keputusan politik negara.

sumber : tni.mil.id

Selasa


Oleh: Abdurrahman Wahid

Minggu lalu, di bilangan Kramat V, Jakarta penulis meresmikan sebuah panti jompo milik sebuah yayasan yang dipimpin orang-orang eks tapol dan napol, kasarnya orang-orang PKI (Partai Komunis Indonesia) yang sudah dibubarkan. Mereka mendirikan sebuah panti jompo di gedung bekas kantor Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), yang dianggap sebagai perempuan PKI. 

Peresmian yang diminta mereka secara apa adanya pada pagi yang cerah itu, disaksikan antara lain oleh SK Trimurti, salah seorang pejuang kemerdekaan kita. Ini penulis lakukan karena solidaritas terhadap nasib mereka, yang sampai sekarangpun masih mengalami tekanan-tekanan dan kehilangan segala-galanya. 

Puluhan ribu, mungkin ratusan ribu orang dipenjarakan karena mereka dituduh “terlibat” dan bahkan memimpin PKI. Banyak yang meninggal dunia dalam keadaan sangat menyedihkan, sedangkan yang masih hidup banyak yang tidak memiliki hak-hak politik sama sekali, termasuk hak memilih dalam pemilu. Rumah-rumah dan harta benda mereka yang dirampas. 

Dan stigma (cap) mereka adalah pengkhianat bangsa, tetap melekat pada diri mereka hingga saat ini. Dengan dipimpin oleh dr. Tjiptaning Proletariati, mereka membentuk PAKORBA (Paguyuban Korban Orde Baru) yang memiliki cabang di mana-mana, walhasil gerakan mereka berskala nasional. 

Namun karena prikemanusiaan juga lah penulis mempunyai solidaritas yang kuat dengan mereka, seperti halnya solidaritas penulis kepada mantan anak buah Kartosuwiryo, yang disebut DI/TII (Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia).

Bahkan waktu turut “berkuasa”, PKI pernah turut-turut memberikan cap pemberontak secara keseluruhan kepada (mantan) orang-orang DI/TII itu. Penulis pernah menyebutkan dalam sebuah tulisan, orang-orang itu tadinya direkut oleh Kartosuwiryo dengan menggunakan nama DI/TII tersebut, karena ia diperintahkan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman, guna menghindarkan kekosongan daerah Jawa Barat, yang ditinggalkan TNI untuk kembali ke Jawa Tengah (kawasan RI) , akibat perjanjian Renville yang mengharuskan terjadinya hal itu. Seorang pembaca menyanggah “catatan” penulis itu karena di matanya tidak mungkin Kartosuwiryo menjadi “penasehat militer” Jenderal Soedirman karena lebih pantas kalau ia adalah penasehat politik. 

Pembaca itu tidak tahu, bahwa penasehat politik Jenderal Sudirman adalah ayah penulis sendiri KH. A. Wahid Hasyim. Karena itu simpati penulis kepada mereka juga tidak kalah besarnya dari simpati kepada mantan orang-orang PKI.

*****

Di sini penulis ingin menekankan, bahwa konflik-konflik bersenjata di masa lampau dapat dianggap selesai, apapun alasannya, karena kita sekarang sudah kuat sebagai bangsa dan tidak usah menakuti kelompok manapun. Justru keadilan yang harus kita tegakkan, sebagai persyaratan utama bagi sebuah proses demokratisasi. 

Kita adalah bangsa yang besar dengan penduduk saat ini 205 juta lebih saat ini. Kita harus mampu menegakkan keadilan, dan tidak “menghukum” mereka yang tidak bersalah. Sepeti pembelaan (pledoi) Amrozi di muka Pengadilan Negeri Denpasar, bahwa ia merakit bom kecil saja, sedangkan ada orang yang dibalik pemboman Bali itu dengan bom besar yang membunuh lebih dari 200. 

Pernyataan Amrozi ini seharusnya mendorong kita memeriksa “pengakuan” tersebut. Namun hal ini tidak dilakukan, karena itu hingga saat ini  kita tetap tidak tahu, adakah pendapat Amrozi itu sendiri dengan fakta atau tidak. 

Demikian juga, kita tetap tidak tahu siapa yang meledakan bom di Hotel Marriott Jakarta beberapa waktu kemudian.

Begitu banyak rahasia menyelimuti masa lampau kita, sehingga tidak layak jika kita bersikap congkak dengan tetap menganggap diri kita benar dan orang lain salah. Diperlukan kerendahan hati untuk melihat semua yang terjadi itu dalam perspektif prikemanusiaan, bukannya secara ideologis. Kalau kita menggunakan kacamata ideologis saja, maka sudah tentu akan sangat mudah bagi kita untuk menganggap diri sendiri benar dan orang lain bersalah. 

Ini bertentangan dengan hakekat kehidupan bangsa kita yang demikian beragam. Kebhinekaan/ keragaman justru menunjukkan kekayaan kita yang sangat besar. Karenanya kita tidak boleh menyalahkan siapa-siapa atas kemelut yang masih menghinggapi kehidupan bangsa kita saat ini.

Sebagai contoh dapat dikemukakan Abu Bakar Ba’asyir yang dianggap sebagai “biang kerok” terorisme di negeri kita saat ini. Pengadilan pun lalu menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara, yang sekarang sedang dijalaninya di LP (Lembaga Permasyarakatan) Cipinang di Jakarta Timur. 

 Memang pengadilan menetapkan ia bersalah namun kepastian sejarah belum kita ketahui, mengingat data-data yang “tidak pasti” (unreliable) digunakan dalam mengambil keputusan. Ini juga terjadi karena memang pengadilan-pengadilan kita memang penuh dengan “mafia peradilan’, maka kita tidak dapat diyakinkan oleh “kepastian hukum” yang dihasilkannya. 

Seperti halnya kasus  Akbar Tanjung, jelas keputusan Mahkamah Agung terus “diragukan” apapun bunyi keputusan itu sendiri. Tidak heranlah sekarang kita mengalami “kelesuan” dalam menengakkan kedaulatan hukum. Inilah rahasia mengapa tidak ada investasi dari luar negeri, karena langkanya kepastian hukum tadi.

*****

Sebuah kasus lain cukup menarik untuk dikemukakan di sini. Kyai Mahfud Sumalangu (Kebumen), adalah pahlawan yang memerangi balatentara pendudukan Belanda di Banyumas Selatan. Ketika kabinet Hatta memutuskan “rasionalisasi” TNI atas usul Jenderal Besar AH. Nasution, antara lain berupa ketentuan banhwa Komandan Batalyon TNI haruslah berijazah dan ijazah hanya dibatasi pada keluaran beberapa lembaga pendidikan saja (tidak termasuk Pesantren), maka Kyai kita itu tidak diperkenankan menjadi Komandan Batalyon di Purworejo dan sebagai gantinya diangkat seorang perwira muda bernama A. Yani. 

Akibatnya Kyai kita itu mendirikan Angkatan Umat Islam (AUI) yang kemudian dinyatakan oleh A. Yani sebagai pemberontak. Peristiwa tragis ini terjadi pada awal tahun-tahun 50-an, namun bekasnya yang pahit masih saja tersisa sampai sampai hari ini.

Hal-hal seperti ini masih banyak terjadi/terdapat di negeri kita dewasa ini. Karenanya, kita masih harus memiliki kelapangan dada untuk dapat menerima kehadiran pihak-pihak lain yang tidak sepaham dengan kita. Termasuk di dalamnya orang-orang mantan Napol dan Tapol PKI, yang kebanyakan bukan orang yang benar-benar memahami betul ideologi mereka itu. 

Karena itulah, penulis tidak pernah menganggap baik orang-orang PKI maupun orang-orang DI/TII sebagai “lawan yang harus diwaspadai”. Penulis justru beranggapan bahwa orang-orang mantan PKI itu, sekarang sedang mencari Tuhan dalam kehidupan mereka, karena apa yang saat ini mereka anggap sebagai “kezaliman-kezaliman”, justru pernah mereka jalani saat ‘berkuasa’. 

Sekarang mereka berpegang pada keyakinan yang mereka miliki yang tidak bertentangan dengan undang-undang dasar. Kalau kita juga menggunakan cara itu, berarti kita sudah turut menegakkan keadilan.

Jelaslah dari uraian di atas, bahwa yang kita perlukan adalah sebuah rekonsiliasi nasional, setelah pengadilan memberikan keputusan “yang adil” bagi semua pihak. Kalau “konglomerat hitam” dapat diberi status Release and Discharge (bebas dari segala tuntutan), mengapakah kita tidak dapat melakukan hal seperti itu pada orang-orang mantan PKI dan DI/TII? 

Jadi, pengertian dari rekonsiliasi yang benar adalah pertama mengharuskan adanya pemeriksaan tuntas oleh pihak pengadilan, kalau bukti-bukti yang jelas masih dapat dicari. Di sinilah letak keadilan yang  harus ditegakkan di bumi nusantara. 

Sebuah tekad untuk memeriksa kasus-kasus yang terjadi di depan mata kita dalam masa lima belas tahun terakhir ini, justru meminta kepada kita agar “melupakan” apa yang terjadi 40-50 tahun yang lalu. Baru kemudian diumumkan pengampunan setelah vonis pengadilan dikeluarkan. 

Kedengarannya mudah dilakukan, namun dalam kenyataan sulit dilaksanakan bukan?

Jakarta, 11 Februari 2004

Kompas

Senin



Oleh: Abdurrahman Wahid
 
Penulis teringat mendiang Soedjatmoko, mantan Dubes kita di PBB, mantan Rektor Universitas PBB di Tokyo dan salah seorang intelektual kita yang dihormati orang. Ia menyatakan melihat tiga jenis kerohanian/sufisme yang ada di tanah air kita. 

Pertama, sufisme kaum Katolik yang berujung kepada aneka Ordo yang disahkan oleh Gereja. Ada yang menggabungkan spiritualitas dan ilmu, seperti kaum Jesuit; adapula yang mengemukakan pentingnya “tindak langsung” untuk menolong mereka yang miskin dan menderita, seperti kaum Fransiskan. 

Bahkan adapula yang bertapa bisu tidak pernah berbicara kepada orang lain, mereka hanya mendengar saja apa yang dikatakan orang tanpa menjawab. Semua macam sufisme itu oleh DR. Soedjatmoko dinamakan ‘kebon raya’ (botanical garden), yang pohon-pohonya dibentuk begitu rupa oleh tukang kebon hingga berbentuk macam-macam. 

Karena itulah, orang senang dengan kebon raya, karena pohon-pohonnya sangat teratur dan terpelihara rapi.

Kerohanian kedua, menurut DR. Soedjatmoko adalah Sufisme Islam. Bermacam-macam gerakan sufi muncul dari satu mata air yaitu keyakinan mutlak akan kebenaran Allah SWT dan Rasullulah SAW. Sufisme Islam diibaratkannya seperti air yang mengalir dari sebuah sumber mata air di gunung, yang terus mengaliri jenjang-jenjang sawah hingga ke laut. 

Karenanya ia menyamakan sekian banyak gerakan sufi itu sebagai bidang-bidang sawah yang mendapatkan air dari satu petak ke petak lain, tetapi berasal dari satu sumber. Pemetakan (teras siring) itu memang membuat sekian banyak sawah itu terairi dengan baik, dan jika dilihat dari jauh jenjang-jenjang sawah itu tampak indah. 

Karenanya, keseluruhan gerakan tarekat memang mengagumkan tetapi ketika sebuah tarekat diteliti gerak-geraknya, banyak juga pertanyaan muncul tanpa ada jawaban yang pasti. Bahkan Nahdlatul Ulama yang didirikan di tahun 1926, dan dianggap merupakan wakil dari salah satu gerakan penyebar ajaran Islam, memberikan imprimatur (pengesahan) atas  45 buah ajaran-ajaran sufi. 

Gerakan tarekat yang diakui “Al-Thariqoh Al-Mu’tabarah” itu berkumpul dalam sebuah organisasi bernama Jam'iyyah Ahli Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyah” yang kini dipimpin oleh Habib Luthfi dari Pekalongan, tanpa ada larangan bergerak sendiri-sendiri bagi masing-masing tarekat itu.

Sementara itu, DR Soedjatmoko mengibaratkan aliran kepercayaan kejawen bagaikan semak-semak bertanaman perdu yang tidak dapat tumbuh tinggi dan juga tidak beraturan. Ada semak-semak yang tebal dan rapat tanamannya, dan ada pula semak-semak yang bertanaman jarang.  Itu semua karena tidak ada yang mengatur. 

Tetapi diantara kumpulan demi kumpulan semak-semak itu, tumbuh menjulang tinggi di sana-sini pohon-pohon yang tinggi. Nah, pohon demi pohon tinggi yang tidak beraturan tempatnya itu, melambangkan guru-guru atau para bikhu yang memimpin berbagai gerakan kepercayaan kejawen tersebut. 

Ketiga gambaran di atas itu melukiskan dengan tepat berbagai gerakan kerohanian yang ada dan hidup di negeri kita. Memang masih banyak gerakan kerohanian yang tidak masuk dalam “pembidangan” yang dibuat mendiang Soedjatmoko itu, namun jelas bahwa ia mencoba memahami berbagai corak gerakan kerohanian yang ada di negeri kita.

Orang boleh berbeda dengan mendiang Soedjatmoko, tapi mereka harus mengakui kategorisasi yang dilakukannya atas berbagai gerakan kerohanian yang kita miliki dewasa ini. Kurang atau lebihnya, tentu saja tokoh intelektual kita itu tidak berkeberatan akan kehadiran pandangan-pandangan lain, asal dapat dipertanggung jawabkan/dipertahankan secara argumentatif. 

Di sinilah terletak sumbangan pemikiran mendiang tokoh tersebut, yang tidak lain adalah ipar Sutan Sjahrir, yang beberapa kali menjadi Perdana Menteri kita dan merupakan salah seorang pendiri negara ini. Kedua tokoh itu justru berprinsip dari perbedaanlah akan muncul kebenaran.

*****

Kita sekarang berada pada era baru dari keberagaman spiritualitas yang kita miliki. Ada kerohanian yang menuntut kesetiaan untuk melaksanakan ajaran-ajaran formal agama. Dari mereka juga lahir organisasi-organisasi agama yang menuntut dilaksanakannya ajaran-ajaran agama secara resmi/formal oleh negara. 

Tuntutan demi tuntutan dari mereka,  pada akhirnya akan berujung pada pemberlakuan ajaran agama tertentu dalam kehidupan bernegara kita. Dengan kata lain, tuntutan pemberlakuan syari’ah (hukum agama) dalam kehidupan bersama yang kita miliki ini bukan tuntutan main-main, karena hal itu dikemukakan oleh orang-orang –yang menurut penilaian kalangannya- hidup jujur dan ikhlas untuk kepentingan agama Islam yang mereka cintai. 

Hal ini sudah berjalan begitu jauh, sehingga beberapa DPRD dan pemerintah daerah melakukan adopsi atasnya.

Pemerintah atau pihak eksekutif telah membahasnya dengan seksama dalam Sidang Kabinet kira-kira sebulan sebelum penulis dilengserkan. Dalam sidang itu, kabinet memutuskan bahwa peraturan demi peraturan kearah syari’atisasi itu dianggap tidak sah jika bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar. 

Hanya saja siapakah yang berhak memberikan tafsiran seperti itu? Tentunya -seperti juga terjadi di negeri-negeri lain, Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga tertinggi di bidang yudikatif yang berwenang untuk itu. Tetapi bagaimana halnya dengan MA yang kita miliki sekarang ini ? 

Penulis menilai mereka tidak mempunyai pendirian pasti mengenai apa yang benar dan tidak menurut Undang-Undang Dasar. Jika mengambil keputusan saja tidak berani, bagaimana pula memberikan penafsiran?

Karena itu kita sekarang berada dalam persimpangan jalan yang tidak jelas, yang pada akhirnya mengakibatkan ketakutan di berbagai pihak, termasuk  dari golongan minoritas etnis dan agama. Ketidakpastian hukum itu, juga menjadi sebab utama bagi langkanya investasi modal asing di negeri kita. 

Kita berharap pemilu legislatif dan pemilu Presiden di tahun akan datang, akan menyudahi ketidakpastian seperti ini, sehingga kita dapat kembali ‘bekerja’ seperti dahulu, dengan semangat dan tekad baru yang diperlukan untuk mengatasi krisis multi-dimensi yang menghinggapi kita saat ini. 

Tentu saja, harus ada kejelasan siapa yang akan memimpin tahap mengatasi berbagai macam krisis tersebut, karena rakyat sudah demikian jauh terpuruk kehidupan mereka.

*****

Dari gambaran seperti dicontohkan mendiang DR. Soedjatmoko di atas, dapat disimpulkan bahwa model hidup seragam, seperti yang diajarkan pemerintahan Orde Baru tidak sesuai dengan kebutuhan kita. Sikap penyeragaman seperti itu, sangat berlawanan dengan spiritualitas/kerohanian yang kita miliki. Justru keberagamanlah yang kita perlukan. 

Karena itulah, penulis lalu menekankan perlunya pemisahan antara agama dan negara, itupulah yang membuat penulis menentang pemberlakuan pendidikan agama oleh negara.  Kalaupun negara “harus” membantu pendidikan salah satu agama melalui sekolah-sekolah, itu pun hanya sebagai bantuan yang tidak mengikat yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan. 

Negara “tidak wajib” menyelenggarakan pendidikan agama, karena akhirnya hanya akan mementingkan “versi ajaran yang disetujui negara.” Akibat dari itu, maka akan timbul bukannya keberagaman yang seperti kita kehendaki. 

Memang sulit memahami dan merasakan kebutuhan akan keberagaman, selama kita sendiri tidak menyakini dengan sesungguhnya maksud Undang-Undang Dasar kita sendiri. 

Sulit menegakan kebenaran di tengah-tengah keberagaman pendapat seperti di negeri kita saat ini, bukan?

Jakarta, 3 Februari 2004

Kedaulatan Rakyat