Oleh: Abdurrahman Wahid
Minggu lalu, di bilangan Kramat V, Jakarta penulis meresmikan sebuah
panti jompo milik sebuah yayasan yang dipimpin orang-orang eks tapol dan
napol, kasarnya orang-orang PKI (Partai Komunis Indonesia) yang sudah
dibubarkan. Mereka mendirikan sebuah panti jompo di gedung bekas kantor
Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), yang dianggap sebagai perempuan PKI.
Peresmian yang diminta mereka secara apa adanya pada pagi yang cerah
itu, disaksikan antara lain oleh SK Trimurti, salah seorang pejuang
kemerdekaan kita. Ini penulis lakukan karena solidaritas terhadap nasib
mereka, yang sampai sekarangpun masih mengalami tekanan-tekanan dan
kehilangan segala-galanya.
Puluhan ribu, mungkin ratusan ribu orang
dipenjarakan karena mereka dituduh “terlibat” dan bahkan memimpin PKI.
Banyak yang meninggal dunia dalam keadaan sangat menyedihkan, sedangkan
yang masih hidup banyak yang tidak memiliki hak-hak politik sama sekali,
termasuk hak memilih dalam pemilu. Rumah-rumah dan harta benda mereka
yang dirampas.
Dan stigma (cap) mereka adalah pengkhianat bangsa, tetap
melekat pada diri mereka hingga saat ini. Dengan dipimpin oleh dr.
Tjiptaning Proletariati, mereka membentuk PAKORBA (Paguyuban Korban Orde
Baru) yang memiliki cabang di mana-mana, walhasil gerakan mereka
berskala nasional.
Namun karena prikemanusiaan juga lah penulis
mempunyai solidaritas yang kuat dengan mereka, seperti halnya
solidaritas penulis kepada mantan anak buah Kartosuwiryo, yang disebut
DI/TII (Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia).
Bahkan waktu turut “berkuasa”, PKI pernah turut-turut memberikan cap
pemberontak secara keseluruhan kepada (mantan) orang-orang DI/TII itu.
Penulis pernah menyebutkan dalam sebuah tulisan, orang-orang itu tadinya
direkut oleh Kartosuwiryo dengan menggunakan nama DI/TII tersebut,
karena ia diperintahkan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman, guna
menghindarkan kekosongan daerah Jawa Barat, yang ditinggalkan TNI untuk
kembali ke Jawa Tengah (kawasan RI) , akibat perjanjian Renville yang
mengharuskan terjadinya hal itu. Seorang pembaca menyanggah “catatan”
penulis itu karena di matanya tidak mungkin Kartosuwiryo menjadi
“penasehat militer” Jenderal Soedirman karena lebih pantas kalau ia
adalah penasehat politik.
Pembaca itu tidak tahu, bahwa penasehat
politik Jenderal Sudirman adalah ayah penulis sendiri KH. A. Wahid
Hasyim. Karena itu simpati penulis kepada mereka juga tidak kalah
besarnya dari simpati kepada mantan orang-orang PKI.
*****
Di sini penulis ingin menekankan, bahwa konflik-konflik bersenjata di
masa lampau dapat dianggap selesai, apapun alasannya, karena kita
sekarang sudah kuat sebagai bangsa dan tidak usah menakuti kelompok
manapun. Justru keadilan yang harus kita tegakkan, sebagai persyaratan
utama bagi sebuah proses demokratisasi.
Kita adalah bangsa yang besar
dengan penduduk saat ini 205 juta lebih saat ini. Kita harus mampu
menegakkan keadilan, dan tidak “menghukum” mereka yang tidak bersalah.
Sepeti pembelaan (pledoi) Amrozi di muka Pengadilan Negeri Denpasar,
bahwa ia merakit bom kecil saja, sedangkan ada orang yang dibalik
pemboman Bali itu dengan bom besar yang membunuh lebih dari 200.
Pernyataan Amrozi ini seharusnya mendorong kita memeriksa “pengakuan”
tersebut. Namun hal ini tidak dilakukan, karena itu hingga saat ini
kita tetap tidak tahu, adakah pendapat Amrozi itu sendiri dengan fakta
atau tidak.
Demikian juga, kita tetap tidak tahu siapa yang meledakan
bom di Hotel Marriott Jakarta beberapa waktu kemudian.
Begitu banyak rahasia menyelimuti masa lampau kita, sehingga tidak
layak jika kita bersikap congkak dengan tetap menganggap diri kita benar
dan orang lain salah. Diperlukan kerendahan hati untuk melihat semua
yang terjadi itu dalam perspektif prikemanusiaan, bukannya secara
ideologis. Kalau kita menggunakan kacamata ideologis saja, maka sudah
tentu akan sangat mudah bagi kita untuk menganggap diri sendiri benar
dan orang lain bersalah.
Ini bertentangan dengan hakekat kehidupan
bangsa kita yang demikian beragam. Kebhinekaan/ keragaman justru
menunjukkan kekayaan kita yang sangat besar. Karenanya kita tidak boleh
menyalahkan siapa-siapa atas kemelut yang masih menghinggapi kehidupan
bangsa kita saat ini.
Sebagai contoh dapat dikemukakan Abu Bakar Ba’asyir yang dianggap
sebagai “biang kerok” terorisme di negeri kita saat ini. Pengadilan pun
lalu menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara, yang sekarang sedang
dijalaninya di LP (Lembaga Permasyarakatan) Cipinang di Jakarta Timur.
Memang pengadilan menetapkan ia bersalah namun kepastian sejarah belum
kita ketahui, mengingat data-data yang “tidak pasti” (unreliable)
digunakan dalam mengambil keputusan. Ini juga terjadi karena memang
pengadilan-pengadilan kita memang penuh dengan “mafia peradilan’, maka
kita tidak dapat diyakinkan oleh “kepastian hukum” yang dihasilkannya.
Seperti halnya kasus Akbar Tanjung, jelas keputusan Mahkamah Agung
terus “diragukan” apapun bunyi keputusan itu sendiri. Tidak heranlah
sekarang kita mengalami “kelesuan” dalam menengakkan kedaulatan hukum.
Inilah rahasia mengapa tidak ada investasi dari luar negeri, karena
langkanya kepastian hukum tadi.
*****
Sebuah kasus lain cukup menarik untuk dikemukakan di sini. Kyai Mahfud
Sumalangu (Kebumen), adalah pahlawan yang memerangi balatentara
pendudukan Belanda di Banyumas Selatan. Ketika kabinet Hatta memutuskan
“rasionalisasi” TNI atas usul Jenderal Besar AH. Nasution, antara lain
berupa ketentuan banhwa Komandan Batalyon TNI haruslah berijazah dan
ijazah hanya dibatasi pada keluaran beberapa lembaga pendidikan saja
(tidak termasuk Pesantren), maka Kyai kita itu tidak diperkenankan
menjadi Komandan Batalyon di Purworejo dan sebagai gantinya diangkat
seorang perwira muda bernama A. Yani.
Akibatnya Kyai kita itu mendirikan
Angkatan Umat Islam (AUI) yang kemudian dinyatakan oleh A. Yani sebagai
pemberontak. Peristiwa tragis ini terjadi pada awal tahun-tahun 50-an,
namun bekasnya yang pahit masih saja tersisa sampai sampai hari ini.
Hal-hal seperti ini masih banyak terjadi/terdapat di negeri kita dewasa
ini. Karenanya, kita masih harus memiliki kelapangan dada untuk dapat
menerima kehadiran pihak-pihak lain yang tidak sepaham dengan kita.
Termasuk di dalamnya orang-orang mantan Napol dan Tapol PKI, yang
kebanyakan bukan orang yang benar-benar memahami betul ideologi mereka
itu.
Karena itulah, penulis tidak pernah menganggap baik orang-orang PKI
maupun orang-orang DI/TII sebagai “lawan yang harus diwaspadai”.
Penulis justru beranggapan bahwa orang-orang mantan PKI itu, sekarang
sedang mencari Tuhan dalam kehidupan mereka, karena apa yang saat ini
mereka anggap sebagai “kezaliman-kezaliman”, justru pernah mereka jalani
saat ‘berkuasa’.
Sekarang mereka berpegang pada keyakinan yang mereka
miliki yang tidak bertentangan dengan undang-undang dasar. Kalau kita
juga menggunakan cara itu, berarti kita sudah turut menegakkan keadilan.
Jelaslah dari uraian di atas, bahwa yang kita perlukan adalah sebuah
rekonsiliasi nasional, setelah pengadilan memberikan keputusan “yang
adil” bagi semua pihak. Kalau “konglomerat hitam” dapat diberi status Release and Discharge
(bebas dari segala tuntutan), mengapakah kita tidak dapat melakukan hal
seperti itu pada orang-orang mantan PKI dan DI/TII?
Jadi, pengertian
dari rekonsiliasi yang benar adalah pertama mengharuskan adanya
pemeriksaan tuntas oleh pihak pengadilan, kalau bukti-bukti yang jelas
masih dapat dicari. Di sinilah letak keadilan yang harus ditegakkan di
bumi nusantara.
Sebuah tekad untuk memeriksa kasus-kasus yang terjadi di
depan mata kita dalam masa lima belas tahun terakhir ini, justru
meminta kepada kita agar “melupakan” apa yang terjadi 40-50 tahun yang
lalu. Baru kemudian diumumkan pengampunan setelah vonis pengadilan
dikeluarkan.
Kedengarannya mudah dilakukan, namun dalam kenyataan sulit
dilaksanakan bukan?
Jakarta, 11 Februari 2004
Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar