Oleh: Abdurrahman Wahid
Penulis teringat mendiang Soedjatmoko, mantan Dubes kita di PBB, mantan
Rektor Universitas PBB di Tokyo dan salah seorang intelektual kita yang
dihormati orang. Ia menyatakan melihat tiga jenis kerohanian/sufisme
yang ada di tanah air kita.
Pertama, sufisme kaum Katolik yang berujung
kepada aneka Ordo yang disahkan oleh Gereja. Ada yang menggabungkan
spiritualitas dan ilmu, seperti kaum Jesuit; adapula yang mengemukakan
pentingnya “tindak langsung” untuk menolong mereka yang miskin dan
menderita, seperti kaum Fransiskan.
Bahkan adapula yang bertapa bisu
tidak pernah berbicara kepada orang lain, mereka hanya mendengar saja
apa yang dikatakan orang tanpa menjawab. Semua macam sufisme itu oleh
DR. Soedjatmoko dinamakan ‘kebon raya’ (botanical garden), yang
pohon-pohonya dibentuk begitu rupa oleh tukang kebon hingga berbentuk
macam-macam.
Karena itulah, orang senang dengan kebon raya, karena
pohon-pohonnya sangat teratur dan terpelihara rapi.
Kerohanian kedua, menurut DR. Soedjatmoko adalah Sufisme Islam.
Bermacam-macam gerakan sufi muncul dari satu mata air yaitu keyakinan
mutlak akan kebenaran Allah SWT dan Rasullulah SAW. Sufisme Islam
diibaratkannya seperti air yang mengalir dari sebuah sumber mata air di
gunung, yang terus mengaliri jenjang-jenjang sawah hingga ke laut.
Karenanya ia menyamakan sekian banyak gerakan sufi itu sebagai
bidang-bidang sawah yang mendapatkan air dari satu petak ke petak lain,
tetapi berasal dari satu sumber. Pemetakan (teras siring) itu memang
membuat sekian banyak sawah itu terairi dengan baik, dan jika dilihat
dari jauh jenjang-jenjang sawah itu tampak indah.
Karenanya, keseluruhan
gerakan tarekat memang mengagumkan tetapi ketika sebuah tarekat
diteliti gerak-geraknya, banyak juga pertanyaan muncul tanpa ada jawaban
yang pasti. Bahkan Nahdlatul Ulama yang didirikan di tahun 1926, dan
dianggap merupakan wakil dari salah satu gerakan penyebar ajaran Islam,
memberikan imprimatur (pengesahan) atas 45 buah ajaran-ajaran sufi.
Gerakan tarekat yang diakui “Al-Thariqoh Al-Mu’tabarah” itu berkumpul dalam sebuah organisasi bernama “Jam'iyyah Ahli Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyah”
yang kini dipimpin oleh Habib Luthfi dari Pekalongan, tanpa ada
larangan bergerak sendiri-sendiri bagi masing-masing tarekat itu.
Sementara itu, DR Soedjatmoko mengibaratkan aliran kepercayaan kejawen
bagaikan semak-semak bertanaman perdu yang tidak dapat tumbuh tinggi dan
juga tidak beraturan. Ada semak-semak yang tebal dan rapat tanamannya,
dan ada pula semak-semak yang bertanaman jarang. Itu semua karena tidak
ada yang mengatur.
Tetapi diantara kumpulan demi kumpulan semak-semak
itu, tumbuh menjulang tinggi di sana-sini pohon-pohon yang tinggi. Nah,
pohon demi pohon tinggi yang tidak beraturan tempatnya itu, melambangkan
guru-guru atau para bikhu yang memimpin berbagai gerakan kepercayaan
kejawen tersebut.
Ketiga gambaran di atas itu melukiskan dengan tepat
berbagai gerakan kerohanian yang ada dan hidup di negeri kita. Memang
masih banyak gerakan kerohanian yang tidak masuk dalam “pembidangan”
yang dibuat mendiang Soedjatmoko itu, namun jelas bahwa ia mencoba
memahami berbagai corak gerakan kerohanian yang ada di negeri kita.
Orang boleh berbeda dengan mendiang Soedjatmoko, tapi mereka harus
mengakui kategorisasi yang dilakukannya atas berbagai gerakan kerohanian
yang kita miliki dewasa ini. Kurang atau lebihnya, tentu saja tokoh
intelektual kita itu tidak berkeberatan akan kehadiran
pandangan-pandangan lain, asal dapat dipertanggung
jawabkan/dipertahankan secara argumentatif.
Di sinilah terletak
sumbangan pemikiran mendiang tokoh tersebut, yang tidak lain adalah ipar
Sutan Sjahrir, yang beberapa kali menjadi Perdana Menteri kita dan
merupakan salah seorang pendiri negara ini. Kedua tokoh itu justru
berprinsip dari perbedaanlah akan muncul kebenaran.
*****
Kita sekarang berada pada era baru dari keberagaman spiritualitas yang
kita miliki. Ada kerohanian yang menuntut kesetiaan untuk melaksanakan
ajaran-ajaran formal agama. Dari mereka juga lahir organisasi-organisasi
agama yang menuntut dilaksanakannya ajaran-ajaran agama secara
resmi/formal oleh negara.
Tuntutan demi tuntutan dari mereka, pada
akhirnya akan berujung pada pemberlakuan ajaran agama tertentu dalam
kehidupan bernegara kita. Dengan kata lain, tuntutan pemberlakuan syari’ah
(hukum agama) dalam kehidupan bersama yang kita miliki ini bukan
tuntutan main-main, karena hal itu dikemukakan oleh orang-orang –yang
menurut penilaian kalangannya- hidup jujur dan ikhlas untuk kepentingan
agama Islam yang mereka cintai.
Hal ini sudah berjalan begitu jauh,
sehingga beberapa DPRD dan pemerintah daerah melakukan adopsi atasnya.
Pemerintah atau pihak eksekutif telah membahasnya dengan seksama dalam
Sidang Kabinet kira-kira sebulan sebelum penulis dilengserkan. Dalam
sidang itu, kabinet memutuskan bahwa peraturan demi peraturan kearah syari’atisasi
itu dianggap tidak sah jika bertentangan dengan ketentuan-ketentuan
Undang-Undang Dasar.
Hanya saja siapakah yang berhak memberikan tafsiran
seperti itu? Tentunya -seperti juga terjadi di negeri-negeri lain,
Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga tertinggi di bidang yudikatif yang
berwenang untuk itu. Tetapi bagaimana halnya dengan MA yang kita miliki
sekarang ini ?
Penulis menilai mereka tidak mempunyai pendirian pasti
mengenai apa yang benar dan tidak menurut Undang-Undang Dasar. Jika
mengambil keputusan saja tidak berani, bagaimana pula memberikan
penafsiran?
Karena itu kita sekarang berada dalam persimpangan jalan yang tidak
jelas, yang pada akhirnya mengakibatkan ketakutan di berbagai pihak,
termasuk dari golongan minoritas etnis dan agama. Ketidakpastian hukum
itu, juga menjadi sebab utama bagi langkanya investasi modal asing di
negeri kita.
Kita berharap pemilu legislatif dan pemilu Presiden di
tahun akan datang, akan menyudahi ketidakpastian seperti ini, sehingga
kita dapat kembali ‘bekerja’ seperti dahulu, dengan semangat dan tekad
baru yang diperlukan untuk mengatasi krisis multi-dimensi yang
menghinggapi kita saat ini.
Tentu saja, harus ada kejelasan siapa yang
akan memimpin tahap mengatasi berbagai macam krisis tersebut, karena
rakyat sudah demikian jauh terpuruk kehidupan mereka.
*****
Dari gambaran seperti dicontohkan mendiang DR. Soedjatmoko di atas,
dapat disimpulkan bahwa model hidup seragam, seperti yang diajarkan
pemerintahan Orde Baru tidak sesuai dengan kebutuhan kita. Sikap
penyeragaman seperti itu, sangat berlawanan dengan
spiritualitas/kerohanian yang kita miliki. Justru keberagamanlah yang
kita perlukan.
Karena itulah, penulis lalu menekankan perlunya pemisahan
antara agama dan negara, itupulah yang membuat penulis menentang
pemberlakuan pendidikan agama oleh negara. Kalaupun negara “harus”
membantu pendidikan salah satu agama melalui sekolah-sekolah, itu pun
hanya sebagai bantuan yang tidak mengikat yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat yang bersangkutan.
Negara “tidak wajib” menyelenggarakan
pendidikan agama, karena akhirnya hanya akan mementingkan “versi ajaran
yang disetujui negara.” Akibat dari itu, maka akan timbul bukannya
keberagaman yang seperti kita kehendaki.
Memang sulit memahami dan
merasakan kebutuhan akan keberagaman, selama kita sendiri tidak
menyakini dengan sesungguhnya maksud Undang-Undang Dasar kita sendiri.
Sulit menegakan kebenaran di tengah-tengah keberagaman pendapat seperti
di negeri kita saat ini, bukan?
Jakarta, 3 Februari 2004
Kedaulatan Rakyat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar