Foto hanya Ilustrasi |
Oleh KH. Abdurrahman Wahid
Dalam kehidupan rumah tangga, pintu masuk merupakan tempat kita masuk
atau keluar dari ruang tamu. Bisa berupa pintu masuk biasa, ataupun
pintu masuk yang punya lambang tertentu dalam kehidupan kita. Seperti
pintu masuk yang memisahkan ruang luar/balai pertemuan dan ruang dalam,
seperti dalam Istana/pemisah antara berbagai ruang kraton.
Di sini tiap
pintu mempunyai arti sendiri-sendiri. Dalam berbagai rumah feodal, kita
memasuki sebuah lorong yang pada pinggir permukaannya ada dua buah
payung yang tujuannya "mengelu-elukan" orang yang lewat di lorong itu.
Terkadang lorong itu tertutup, terkadang ia hanya memiliki tembok
setengah badan. Karenanya, kalau hujan maka lorong itupun akan menjadi
basah. Seorang teman memiliki lorong seperti itu, mungkin ia masih
berpikir bahwa masuk ke rumahnya berarti masuk ke dalam Kraton. Sindrom
menjadi raja.
Lain halnya dengan pintu masuk di stasiun kereta api, yang
jeruji-jerujinya ditutup untuk mencegah masuknya orang sebelum kereta
api tiba di stasiun itu. Dapat digambarkan di pintu stasiun itu, betapa
banyaknya orang yang akan masuk sekaligus, dan langsung berlari mencari
tempat duduk masing-masing di gerbong-gerbong yang akan dinaikinya.
Bahwa kita belum dapat mengatur alur penumpang sebelum kereta api
datang, menunjukkan bahwa perusahaan kereta api belum dapat mengatur
para penumpang kita sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan. Semua
serba berebut tempat, sedangkan nanti kalau kereta api meneruskan
perjalanan, ternyata jumlah penumpang jauh lebih besar dari pada jumlah
kursi yang ada. Ini terjadi boleh dikata dihampir setiap stasiun kereta
api, kecuali yang besar-besar (Gambir, Jakarta kota- Beos, Semarang,
Solo, Pasar Turi dan Gubeng di Surabaya).
Jika melihat antrian penumpang yang berdesak-desak secara tidak ada
perlunya, bangsa lain akan menganggap bangsa kita tidak mengerti aturan
dalam transportasi umum. Ini belum lagi kalau kita menaiki kapal laut
dari tangga di sisi kapal, yang sama saja seperti di pintu stasiun
kereta api tadi. Calon penumpang berdesak-desak naik ke atas kapal,
walau sudah punya karcis kamar untuk penumpang kelas, maupun alokasi
tempat tidur di atas gladak jika hanya berkelas gladak.
Demikian rupa
orang berdesakan naik ke atas kapal, hingga diperlukan satpam pada awal
tangga, untuk mengatur alur penumpang itu. Jadi di samping kontroler
karcis kapal, ada juga satpam yang harus mengatur agar orang berbaris
dengan teratur untuk masuk ke dalam kapal melalui tangga.
Bahkan di lapangan terbang/airport, yang digunakan kalangan menengah
dan atas, masih terjadi "salah memasuki pintu masuk". Masih saja ada
penumpang yang memasuki ruang masuk yang salah. Setelah ditolak di pintu
masuk, baru ia sadar bahwa ia keliru jalan. Padahal pintu masuk di
lapangan terbang ditulis dengan jelas pada beberapa neon box yang ada di
tubuh utama pintu masuk, serta pada permukaan lorong menuju pintu
masuk.
Jika ia menggunakan kuping dan matanya baik-baik ia akan
mendapati pintu itu dengan mudah. "Salah masuk" itu juga terkadang
disertai kenyataan, bahwa penumpang tersebut belum mendaftarkan diri (check-in)
sehingga ia harus kembali ke tempat itu. Bahkan mungkin kehilangan
tempat duduk yang tadinya ia pesan, tapi kemudian digantikan orang lain
karena ia terlambat check-in. Itu ini terjadi pada umumnya atas penumpang baru, yang belum pernah naik pesawat terbang atau menjadi penumpang sebelumnya.
***
Nah, keadaan pintu masuk itu sendiri bisa juga tidak menyenangkan
atau mengusik perasaan calon-calon penumpang. Baru-baru ini, untuk
berminggu-minggu lamanya pintu masuk F1 dan F7 di airport Cengkareng
misalnya selalu diisi oleh pesawat-pesawat terbang milik Lion Air.
Padahal tadinya ia menjadi "pintu masuk tetap" bagi pesawat-pesawat
milik Garuda, yang digunakan untuk masuknya penumpang bagi
pemberangkatan dan kedatangan dari Surabaya.
Ternyata, sudah dua kali
Garuda harus "angkat kaki", memberangkatkan para penumpang dengan naik
bis/mobil van, karena pintu masuk F1 dan F7 dipakai oleh pesawat-pesawat
terbang milik Lion. Apa boleh buat, kejengkelan kepada "aturan" seperti
itu memang terasa bagi para calon penumpang pesawat-pesawat Garuda itu,
karena mereka harus naik turun melalui tangga/lift, yang berarti
memperlambat keberangkatan mereka.
Padahal mereka telah membayar tiket pesawat minimal 2 kali lipat
harga tiket pesawat Lion. Ini berarti pelayanan keberangkatan mereka
"dikalahkan" oleh Lion yang boleh dikata setingkat berada di bawah
Garuda. Kalau semua pesawat yang berbeda-beda tarif itu disamakan, maka
apa gunanya perbedaan tersebut? penulis tidak bisa berkesimpulan lain
dari kenyataan bahwa ada "orang kuat" dalam tubuh Dewan Komisaris Lion
Air.
Dengan dukungan si orang kuat itu, mula-mula pesawatnya dapat
diberangkatkan dari terminal 2-F1, yang dahulunya khusus diperuntukkan
bagi para penumpang yang melalui terminal 1A/1B/1C di Airport
Cengkareng. Kalau memang menghendaki perpindahan terminal itu,
seharusnya Lion menggunakan tarif penumpang seperti yang digunakan
Garuda.
***
Prinsip dunia usaha yang bersifat persaingan harus diterapkan di
sini, guna optimalisasi pelayanan sewaktu tinggal landas, dalam
penerbangan dan setelah mendarat. Penggunaan prinsip sama rata akan
mematikan dunia usaha itu sendiri. Ini adalah permulaan dari penanganan
ekonomi secara salah, yang jika diperluas terus menerus, akan membuat
ekonomi itu sendiri menjadi salah urus dan tidak efisien.
Ekonomi yang
sedemikian itu biasanya ditandai oleh penggunaan faktor-faktor
non-ekonomi secara tidak fair dan tidak mengindahkan asas-asas ekonomi. Jika usaha penerbangan kita yang baru akhir-akhir ini menggunakan faktor
persaingan bebas dalam penggunaan modal dan sumber-sumber lain, tidak
layaklah kiranya jika harus mendasarkan keputusan yang diambil melalui
"pengaruh politik" dan sebagainya.
Teranglah bagi kita, harus ada kejelasan mengenai pengaruh modal
dengan kebolehan/kemampuan dalam menetapkan harga/biaya bagi semua hal,
termasuk bagi penggunaan ruang tunggu dan pintu masuk. Sesuatu yang
tidak berdasarkan perhitungan komersial haruslah ditolak sejak awal.
Mula-mula Lion Air meminta agar boleh berangkat dari pintu masuk
pesawat-pesawat Garuda, sesuatu yang menyalahi aturan, karena tarifnya
separuh lebih rendah dari pada Garuda, sehingga seharusnya ia terbang
dari pintu-pintu masuk terminal 1 di Cengkareng. Jadi mengabulkan
permohonan itu, apapun sebabnya, adalah pelanggaran terhadap prinsip
pengembangan ekonomi secara bebas. Kemudian, jika permohonan untuk itu
diberikan, maka akan diminta pula penggunaan pintu masuk "yang gemuk" di
terminal 2.
Nah, karena itu, penulis mengharapkan Garuda "berkeberanian moral"
untuk menolak permintaan itu, siapun backingnya. Hanya dengan cara
demikian dapat dilaksanakan privatisasi ekonomi kita secara
bersungguh-sungguh. Bagi kebutuhan pokok yang tidak dapat diserahkan
kepada persaingan bebas, pemerintah harus menyediakan dana melalui
anggaran khusus di luar RAPBN (Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara), yang harus dihentikan begitu kemampuan berkembang oleh sektor
tersebut.
Dalam keadaan demikian, pihak swasta harus sanggup
mengembangkan diri sendiri tanpa bantuan pemerintah. Jadi tidak ada
sub-sektor ekonomi yang menjadi tanggungan pemerintahan dalam jangka
panjang.
Karena hal itu berkaitan dengan LOI (Letter of Inters) dari
Dana Moneter Internasional (IMF) yang sangat mencekik dan harus langsung
dilaksanakan tanpa memperhitungkan kondisi sosial ekonomis yang ada
dewasa ini. Jadi kita harus sanggup menyakinkan Dana Moneter
Internasional untuk mempertahankan hal yang benar-benar diperlukan,
bukannya asal potong/hentikan subsidi saja. Mudah dalam ucapan, namun
sulit dalam pelaksanaan, bukan? [g]
juga bisa di lihat di http://seputarnu.wordpress.com/2010/06/16/pintu-masuk/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar