Foto hanya ilustrasi |
Oleh: Abdurrahman Wahid
Peter Mansfield dalam bukunya History of The Middle East, menceritakan
bagaimana responsi berbagai bangsa muslim di Timur-Tengah terhadap
negara sekuler. Ada yang menerima negara tersebut setengah hati, ada
pula sepenuhnya. Ini seperti juga di Indonesia, yang pada tanggal 18
Agustus 1945 mengeluarkan Piagam Jakarta dari Undang-Undang Dasar NKRI.
Namun demikian masih ada ada yang menerima pemisahan negara dari agama
(dalam hal ini Islam) setengah hati, dan ada pula yang menerimanya
secara bersungguh-sungguh. Yang menerima setengah hati, dan kemudian
hari menjadi partai Islam seperti PPP dan PBB. Sedangkan yang menerima
gagasan tersebut sepenuh hati adalah PKB dan PAN, walaupun di dalam
kedua partai itu juga masih ada yang berpendapat perlunya negara Islam.
Tetapi secara resmi keduanya bukanlah partai Islam, dan ini tidak berati
kaum muslimin di dalamnya meninggalkan syariah Islam. Kedua-duanya
masih menganggap/menerima peranan syariah dalam menentukan orientasi
kedepan. Dengan demikian, syariah masih berlaku, walaupun tidak
diundangkan dalam produk-produk negara.
Untuk PAN kita tidak jelas apa sebab pimpinannya tidak mengatakan
partainya bukanlah Partai Islam. Tetapi bagi PKB, hal itu berdasar
kepada keputusan Muktamar NU tahun 1935 di Banjarmasin. Saat itu
diajukan pertanyaan, soal wajib tidaknya bagi kaum muslimin
mempertahankan secara fisik kawasan Hindia-Belanda -demikian waktu itu
Indonesia disebut. Muktamar tersebut menjawab bahwa hukumnya wajib.
Keputusan itu mengikuti sebuah literatur terkenal dari masa lampau, Bughyah Al-Mustarysidin,
bahwa setiap kawasan dimana dahulunya ada kerajaan Islam harus
dipertahankan (secara fisik) karena penduduknya dianggap muslimin (dan
memang demikian halnya di negeri kita). Di samping itu, negeri ini (dulu
sampai sekarang hingga mungkin seterusnya) kaum muslimin menjalankan
ajaran-ajaran agama mereka tanpa diatur oleh pemerintah.
Karena itulah kaum muslimin di negeri ini tidak memerlukan sebuah
negara Islam, sebab Republik Indonesia yang diproklamirkan pada 17
Agustus 1945 sudah cukup bagi kaum muslimin di negeri ini. Atas dasar
itu, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada pertengahan 1945 sudah
menetapkan Republik Indonesia sebagai sebuah negara yang berdaulat
penuh dengan wilayah-wilayah yang jelas.
Ini diterima oleh NU sepenuh
hati, hingga pada tanggal 22 Oktober 1945 mengeluarkan Resolusi Jihad.
Resolusi itu berbunyi mempertahankan RI yang sekuler itu, dari serangan
luar negeri (dalam hal ini tentara Sekutu dan dengan sendirinya pihak
Belanda) adalah sebuah kewajiban agama, karena hal itu berarti jihad
dijalan Allah SWT. Mempertahankan sebuah negara sekuler sebagai sebuah
kewajiban agama, adalah sesuatu yang menunjukan bahwa pemisahan agama
dari negara sudah bersifat final bagi NU.
Pandangan NU itu lebih diperkuat oleh Muktamar NU di Asembagus,
Situbondo pada akhir tahun 1984, yang menyatakan untuk selanjutnya NU
berasaskan Pancasila. Jika landasan semua kegiatan NU yang bersifat
formal adalah pancasila dan bukanya Islam, maka lagi-lagi seperti ada
penegasan, bahwa syariah Islam harus ditegakan oleh masyarakat sebagai
akhlak/moral pribadi, bukanya melalui produk-produk negara, seperti
undang-undang dan berbagai peraturan daerah.
Hal itu juga penulis
terapkan ketika menjadi Presiden. Ketika ada pertanyaan bagaimana dengan
undang-undang dan peraturan-peraturan daerah yang disebut sebagai
“syariahtisasi hukum Nasional”, dijawab oleh keputusan sidang kabinet
sebualan sebelum penulis lengser dari Kepresidenan, bahwa segala macam
undang-undang dan peraturan-peraturan yang bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar dinyatakan batal. Dan yang harus yang menyatakan hal
itu haruslah Mahkamah Agung.
*****
Dalam abad ke 21 ini, soal hubungan antara negara dan agama akan
semakin hebat dikalangan negeri-negeri muslim. Namun kerajaan Saudi
Arabia, yang oleh banyak kalangan disebut sebagai negaranya “kaum
Wahabi”, mendiamkan hal ini sejak tahun 1924. Karena itu setiap pihak
dapat mengambil penafsirannya sendiri, termasuk pihak A.S yang melalui
perusahaan minyak Aramco yang melakukan penggalian minyak di kawasan
itu.
Sedangkan para Rajanya secara brturut-turut mengambil langkah dan
kebijaksanaan berganti-ganti. Ada Raja yang mendorong sekularisasi, ada
yang menentangnya. Karena itu para pejabat tingginya juga terpecah dua
dalam sikap, seperti mendiang Ahmad bin Abdul Aziz bin Baz yang
menentang sekularisasi habis-habisan dengan mengharamkan rokok.
Sebaliknya kaum nasionalis dikebanyakan di negara Arab menentang negara
agama, karena dahulu nasionalisme di negara-negara itu lahir dari
penentangan terhadap penjajahan Dinasti Ustmaniyah (Ottoman Empire)
dari Turki, dengan para Rajanya yang bergelar Khalifah dan Sultan. Jadi
perjuangan kemerdekaan dari penjajahan Turki, mempunyai identitas yang
sama dengan penentangan terhadap Islam.
Namun dijaman modern ini muncul
gerakan bawah tanah (underground movements) seperti Ikhwanul
Muslimin dan Fis (Front Islamic Salvation) di Tunisia dan Aljazair serta
PAS (Partai Islam se-Malaysia) masih mencita-citakan negara Islam.
Sementara itu, baik MNLF (Moro National Liberation Front) maupun MILF
(Moro Islamic Liberation Front) di Mindanao, Filipina Selatan juga
memiliki pikiran seperti itu, yaitu penyatuan antara ajaran agama dan
produk-produk negara.
Jadi jelaslah, akan muncul dua sikap sebagai responsi/tanggapan. Di
satu pihak akan semakin kuat tuntutan akan negara yang berdasarkan
ajaran-ajaran Islam dikemudian hari. Namun ada pula yang bertahan pada
pendirian negara harus tetap sekuler. Dalam artian pemisahan antara
agama dan negara. Dan masalah mewujudkan nilai-nilai Islam dalam
kehidupan bersama kaum muslimin, adalah urusan gerakan-gerakan agama di
luar tugas pemerintahan. Hal-hal yang menyimpang dari prinsip ini,
haruslah dilawan secara terbuka sehingga semua pihak yakin akan
kesungguhan hati pihak “sekuler” ini.
NU secara jelas telah menggariskan sikap pandangan ini. Karenanya NU
akan selalu menentang gagasan negara Islam untuk Indonesia. menurut
cerita keluarga yang tidak dapat dibuktikan secara tertulis. Pada tahun
1943, ayahanda penulis Alm. KH. A Wahid Hasyim, ditemui oleh Laksamana
Maeda dari pemerintahan pendudukan Jepang. Ia bertanya, siapa yang akan
mewakili bangsa Indonesia dalam negosiasi kemerdekaan bangsa Indonesia
dari tangan pendudukan Jepang?
Dua hari kemudian Wahid Hasyim
menyampaikan jawaban ayah beliau, Alm. KH. M Hasyim As’yari dari Tebu
Ireng Jombang, bahwa Seoekarno-lah yang paling layak menjadi wakil
bangsa Indonesia. Dari hal ini jelaslah, beliau lebih memikirkan
kepentingan bangsa di atas kepentingan golongan yaitu NU.
Nah, sekarang NU lebih memperkuat argumentasinya mempertahankan konsep
sekularisme agama dari negara itu. Yaitu bahwa NU akan mengembangkan
demokratisasi bangsa dan negara di masa yang akan datang. Dan
nilai-nilai Islam yang sangat demokratis, harus menjadi motor bagi upaya
demokratisasi Indonesia. Sedangkan nilai-nilai yang tidak emansipatif,
seperti wanita lebih rendah kedudukan hukumnya daripada pria, haruslah
diganti.
Ini sesuai dengan keputusan Menteri Agama Alm.KH. Wahid Hasyim,
bahwa murid perempuan dapat diterima di SGHA (Sekolah Guru Hakim
Agama), yang kemudian menjadi Fakultas Syariah di IAIN/UIN di seluruh
Indonesia. Ini mudah dikatakan namun sulit dilakukan, bukan?
Jakarta, 28 Januari 2004
Sumber: Duta Masyarakat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar