Oleh: Abdurrahman Wahid
Dalam literatur yang banyak ditulis orang, NU disebutkan sebagai
organisasi Islam kolot/konservatif. Sebutan ini melekat dengan mudah
pada organisasi tersebut, antara lain karena hal-hal berikut: para
pengikutnya kebanyakan memang terdiri dari “orang awam” yang masih
mengikuti para ulama, tanpa mempertanyakan keabsahan apa yang mereka
buat. Ini benar-benar mencerminkan sikap konservatif dalam hidup.
Di
samping itu, NU sendiri menyatakan diri terikat kepada salah satu empat
madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali). Tiap macam gerakan dalam
lingkungannya, baik itu tarekat maupun lain-lainnya, harus ada pengakuan
(imprimatur) dari kalangan Ulama, baru kemudia ia diakui (muktabarah).
Pengambilan keputusan dalam setiap musyawarah, selalu menggunakan
rujukan karya-karya Ulama masa dahulu. Karya ulama mutakhir, seperti
tafsir-tafsir al-Maraghy, tidak dapat diterima oleh para
peserta musyawarah tersebut.
Demikian pula, pakaian yang dikenakan
mereka, kesenangan mereka membaca shalawat dan maddah (sajak-sajak puja bagi Nabi), disertai kenduri dalam bermacam-macam ritus tradisional (seperti manakiban),
menunjuk kepada apa yang sering ditulis orang sebagai ciri-ciri
konservatifisme. Para Ulama seperti penduduk Tiongkok, yang bagi
kepentingan tanah air menerima begitu saja pengorbanan ratusan ribu
jiwa, lagi-lagi mereferensi NU sebagai konservatif. Jadi seperti
demikiankah NU, yang dinilai sebagai gerakan Islam kolot? Bagi kaum
Ulama yang dianggap demikian, hal itu tidak menjadi persoalan.
Padahal dalam NU tidak sepenuhnya konservatifisme dijalankan. Banyak
sekali contoh yang dapat dikemukakan untuk mencari identitas NU yang
sebenarnya. Kalau ditanyakan pada seorang pemerhati studi ke-Islaman,
tentu ‘identitas’ itu dilihat pada kuatnya NU berpegang pada “kurikulum”
ilmu-ilmu keagamaan Islam, seperti yang dirumuskan Imam al-Sayuthi,
kira-kira 500 tahun yang lalu, dalam “Itmam al-dirayah. Keempat belas macam bidang studi yang diliputnya, merupakan kurikulum dasar yang diajarkan oleh pesantren-pesantren kita.
Walaupun bidang-bidang itu juga diajarkan di UIN (Universitas Islam
Negeri), tapi cara penanganannya sangatlah berbeda. Dalam pesantren,
teks-teks(al-quthub al-muqarrarah) dipakai sebagai referensi
yang sudah benar, karena itu tidak diperdebatkan lagi tentang isinya.
Sebagai sesuatu yang dianggap benar, teks-teks itu diterima tanpa ada
perbedaan paham sama sekali. Kalau toh ada sengketa, maka yang terjadi hanyalah perbedaan paham diantara para penulis (mua’llif) nya.
Kebenaran pendapat yang saling berbeda itu, tidaklah diragukan lagi.
Ini tentu berbeda dari kajian Islam di Perguruan Tinggi yang di dalamnya
orang memperdebatkan kebenaran sebuah pendapat dan keabsahan sebuah
pandangan. Dengan demikian, antara seorang santri dan seorang mahasiswa
akan senantiasa ada perbedaan pandangan dan perlakuan atas
pendapat-pendapat (aqwal) yang ada dalam teks-teks/ kitab-kitab
yang digunakannya antara kedua lembaga pendidikan Islam itu.
Bagaimanapun juga, keduanya menggunakan karya-karya masa lampau sebagai
referensi, walaupun berbeda cara penggunaannya.
*****
Dalam kenyataan, pandangan yang menganggap NU sebagai lingkungan
konservatif sebenarnya tidak dapat dipertahankan lagi. Proses sejarah
memaksakan ketentuan-ketentuannya sendiri. Ini tentu dapat dipahami,
karena memang siapapun yang mencoba mengerti permasalahannya, akan
sampai pada kesimpulan bahwa NU adalah lingkungan yang tradisional yang
“dibungkus” dalam tutup konservatifisme. Tentu saja diperlukan
kesanggupan pengamat gerakan-gerakan Islam di negeri kita untuk
memandang masalah ini dengan jernih. Untuk itu sejumlah dasar
pengambilan pendapat haruslah dikuasai terlebih dahulu.
Umpama saja,
ayat kitab suci Al-Qur’an yang berbunyi: “Barang siapa membuat keputusan
hukum tanpa dasar apa yang diturunkan Allah, ia adalah seorang kafir,
munafiq, zalim” (man lam yahkum bima anzala-Allah fa ulaaika hum al-kafirun, munafiqun al-dhalimun). Dengan demikian, mereka dalam memutuskan fiqh (Hukum Islam), tetap harus bersumber pada teks-teks resmi (adillah naqliyyah) yang diambilkan dari al-Qur’an dan al-Hadits.
Di samping itu, untuk membuat keputusan Hukum Agama harus berdasarkan kaidah-kaidah fiqh (al-qawaid al-fiqhiyyah,
teori Hukum Islam – Ushul fiqh) dan lain-lain peralatan yang digunakan.
Contoh sangat baik dapat ditunjukkan dalam hal ini, adalah Resolusi
Jihad yang dikeluarkan oleh PBNU pada tanggal 22 Oktober 1945.
Dalam
resolusi itu dikemukakan bahwa kewajiban mempertahankan Republik
Indonesia (RI) (yang notabene bukan negara Islam) adalah sebuah kewajiban agama (Jihad)
yang berlaku wajib bagi semua warga negara RI. Ini menunjukkan watak
tradisional NU yang tidak tergoyahkan oleh sekian banyak pendirian dari
berbagai kalangan. Ini kemudian dijadikan sebagai faktor pendorong
sekian banyak sikap-sikap yang diambil rakyat untuk melawan tentara
sekutu. Semangat seperti itulah yang memperkuat pandangan NU sebagai
organisasi masyarakat.
Sebuah kejadian lain jelas menunjuk pada tradisionalisme NU itu. Dalam
Muktamar Banjarmasin tahun 1935, NU memutuskan hukum fiqh yang
mempertanyakan “wajibkah kaum muslimin negeri kita untuk mempertahankan
secara fisik kawasan Hindia Belanda yang diperintah oleh para penjajah
yang yang tidak beragama Islam?” Muktamar pun menjawab: bahwa ada dua
hal yang mewajibkan kaum muslimin mempertahankan Indonesia (dahulu
Hindia Belanda).
Pertama, menurut buku teks “Bughyah al-mustarsyidin”
kawasan yang dahulu ditempati/ ditinggali kerajaan Islam di masa
lampau, haruslah dipertahankan sebagai “tanah muslim”. Walaupun kawasan
bukan Negara Islam, tetapi mayoritas penduduknya kaum muslimin, maka
mempertahankannya adalah sebuah keharusan. Kedua, di negeri
ini kaum muslim melaksanakan ajaran agama, tanpa ada pengekangan dari
negara sama sekali. Karena itu, muktamar NU tersebut memutuskan untuk
mempertahankan kawasan Hindia Belanda dan itu adalah merupakan kewajiban
agama.
*****
Karena pelaksanaan ajaran-ajaran agama tidak ada hubungannya dengan
wujud negara, maka entitas yang bernama Negara Islam menjadi tidak
wajib. Ini bukan pendapat seorang atau dua orang Ulama masa kini saja,
melainkan sudah ada semenjak dahulu. Disertasi Dr. Nurcholish Madjid
mengenai tokoh Ibn Taimiyya, menunjukkan dengan jelas bahwa umat Islam
berhak memiliki ulama/pimpinan agama yang berbilang. Tegasnya, tidak
diperlukan adanya lembaga yang bernama agama, dengan seorang diantara
mereka menjadi pimpinan Negara.
Inilah sebabnya mengapa sebenarnya Islam
tidak memiliki kepemimpinan yang tunggal. Umat Islam bebas menganut
damengikuti pimpinan mana saja dalam masyarakat di mana. Dalam keadaan
demikian, tentu saja harus ada pimpinan negara yang diikuti
kepemimpinannya oleh semua warga negara. Selama pimpinan negara tidak
menyimpang dari ‘ajaran-ajaran agama’ atau suatu hal yang ‘disetujui’
oleh lembaga-lembaga keagamaan, maka keputusan demi keputusan yang
diambilnya mengikat semua warga negara yang dipimpinnnya.
Di sinilah pentingnya arti seorang Mufti yang ditunjuk oleh pimpinan
Negara. Mufti itulah yang harus menetapkan waktu jatuhnya Puasa, Hari
Raya Idul Fitri, dan Hari Raya Idul Adha. Dalam mana keadaan suatu
negara tidak memiliki seorang Mufti, maka fungsinya digantikan oleh
menteri agama, seperti keadaan negeri kita sekarang.
Memang dahulu di
waktu kita masih belum memiliki pemerintahan sendiri, tepat sekali untuk
mendengar penetapan-penetapan oleh organisasi agama mengenai jatuhnya
permulaan Puasa, permulaan Idul Fitri dan Idul Adha. Tetapi sekarang
kita sudah mempunyai Menteri Agama yang melakukan fungsi tersebut. Ini
berarti, sebenarnya secara teoritis tidak diperlukan lagi pendapat
organisasi-organisasi keagamaan itu. Namun dalam kenyataan hal itu
masih terjadi, dan masing-masing pihak merasa pendiriannya yang benar
dan harus dipakai. Sampai kapan hal itu terus terjadi, penulis juga
tidak tahu. Itu adalah proses politik yang memerlukan pendidikan politik
untuk menyelesaikan masalahnya.
Dalam hal ini, penulis teringat kisah tentang bagaimana “kepentingan
agama” harus diletakkan pada tataran kepentingan nasional. Pada waktu
ayah penulis, KH. A. Wahid Hasjim ditanya Laksamana Maeda dari
pemerintahan pendudukan Jepang, siapa yang sebaiknya mewakili bangsa
Indonesia untuk merundingkan kemerdekaan dengan pihak Jepang, beliau
menyatakan akan berkonsultasi dengan sang ayah, KH. M. Hasjim Asj‘ari.
Hasilnya: Soekano, dan itulah yang terjadi dalam sejarah. Di sini bukti
bahwa pengasuh Pondok Pesantren di Tebu Ireng, Jombang, tersebut telah
melebur“kepentingan agama” dalam “kepentingan nasional”. Padahal beliau
tahu Soekarno bukanlah tokoh NU, melainkan pemimpinan kaum Nasionalis.
Terbukti di sini, bahwa NU bukanlah organisasi konservatif, melainkan
organisasi tradisional yang tidak hanya mementingkan dirinya sendiri.
Sangat indah, bukan?
Jerusalem, 19 Desember 2003
Sumber: Duta Masyarakat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar