Oleh: Abdurrahman Wahid
Semasa masih menjadi Presiden negeri ini, penulis mendengar kedatangan
Paul Krugman seorang ekonom terkemuka yang mengajar di sebuah
universitas “papan atas” A.S, datang ke Jakarta untuk sebuah seminar.
Segera penulis, melalui orang-orang tertentu, mengundang ia datang ke
Istana. Karena penulis pernah bertanya kepada Datuk Seri Dr. Mahathir
Mohamad, Perdana Menteri Malaysia waktu itu, mengapa ia berani menarik
Malaysia keluar dari IMF (Dana Moneter Internasional) ?
Jawabnya, ia
mengikuti nasehat Paul Krugman . Penulis sangat tertarik pada orang ini,
yang kemudian menjadi kolumnis pada The International Herald Tribune
yang terbit di New York. Ia menyatakan kepada penulis, Malaysia dapat
keluar dari IMF, karena memiliki birokrasi yang kecil dan bersih (lean and clean bureaucratie). Sebaliknya Indonesia, katanya, birokrasinya sangat besar dan bobrok. Karena itu janganlah keluar dari IMF, sambungnya.
Terlepas dari benar atau tidaknya pendapat itu, Krugman adalah seorang
yang tajam dalam pengamatan dan mendalam penilaiannya. Mungkin karena
itu, ia tidak menulis buku teks klasik di bidang ekonomi seperti Paul
Samuelson, atau ekonomi pembangunan seperti Kindle Berger.
Tetapi
pengamatanya yang tajam dan pengertiannya yang mendalam itu ternyata
dituangkan dalam kolom-kolom yang ditulisnya. Misalnya saja tulisannya
tentang demokrasi di Venezuela. Negara minyak yang demokratis itu,
ternyata memilih Hugo Chavez sebagai Presiden beberapa tahun yang lalu
dan ternyata tetap bertahan hingga hari ini. Ia tidak disenangi A.S yang
mencoba menggulingkannya melalui “kudeta tak berdarah” beberapa tahun
yang lalu oleh A.S, melalui sekelompok penentangnya.
Berbeda dengan Krugman yang mempertahankan konstitusi Venezuela, tetapi
tidak menyukai Chavez. Penulis justru melihat sesuatu yang istimewa
pada Chavez. Karena Chavez adalah keturunan Indian pertama yang menjadi
Presiden melalui pemilihan umum yang bebas di negeri Amerika Latin itu,
berarti ia dipilih oleh mayoritas Indian dan keturunan Indian, maka
penulis bersimpati kepadanya.
Bahkan penulis berharap agar ia, terpilih
kembali menjadi Presiden negeri itu. Chavez berani berhadapan dengan
oligarki “keturunan” Spanyol, seperti Simon Bolivar lebih adari 100
tahun yang lalu menandai bangkitnya “demokrasi” di Amerika Latin. Karena
itu Chavez bagi penulis adalah seperti Nasser dari Mesir bagi dunia
Arab dan pertama kalinya, orang miskin menjadi Presiden di negeri minyak
Amerika Latin itu.
Sudah tentu hal itu tidak dirasakan oleh seorang kulit putih seperti
Krugman. Tapi, penulis sangat menghargai pendapat Krugman dalam hal-hal
lain. Hal itu terlihat dari kolom-kolomnya, yang menunjukkan dua hal
sekaligus: Keteguhannya untuk berpegang kepada kapitalisme yang telah
mengalami modifikasi/perubahan; dan keberanian moralnya untuk tetap
berpegang pada acuan tersebut.
Ini terlihat antara lain dalam
penolakannya kepada pendapat Bush-Cheney yang terlalu ‘mementingkan’
perusahaan-perusahaan minyak dunia saat ini. Dalam kasus krisis energi
di California dua-tiga tahun yang lalu, komisi Cheney mengusulkan
penghapusan aturan-aturan lingkungan hidup yang ada dan pemberian
subsidi puluhan miliar dollar kepada perusahaan-perusahaan energi yang
beroperasi di negera bagian tersebut. Krugman menentang hasil-hasil
komisi tersebut, dan dibuktikan kebenarannya dari perkembangan keadaan
sekarang.
*****
Dalam pembukaan rapat konsolidasi wilayah V LPP (Lembaga Pemenangan
Pemilu) PKB di Lombok, beberapa waktu yang lalu penulis menyampaikan 4
buah sasaran PKB yang akan dicapai jika PKB menang dalam pemilu.
Pertama, Demokratisasi Indonesia terutama melalui penegakan hukum dan
perlakuan yang sama terhadap semua warga Negara di hadapan
undang-undang. Kedua, kepemimpinan Indonesia dalam dunia Islam.
Hal ini
ditempuh melalui dialog yang jujur dan terbuka antara negara-negara
besar dan kecil tentang arti yang dipakai untuk beberapa peristilahan
internasional, seperti globalisasi. Dan ketiga, menaikkan tingkat
pendapatan bangsa Indonesia menjadi rata-rata sepuluh ribu dollar
Amerika tiap tahun per orang. Untuk mencapai sasaran seperti itu, tentu
diperlukan kerja keras kita semua. Untuk menentukan sasaran seperti itu
saja sudah merupakan keberanian luar biasa.
Penulis berani menetapkan sasaran itu, setelah melihat kekayaan
sumber-sumber alam yang kita miliki. Hasil hutan, barang tambang dan
hasil laut kita yang ternyata sangat berlimpah ruah. Hanya saja selama
ini sumber alam itu telah dikelola secara salah oleh serangkaian
kebijakan yang merugikan rakyat, menggunduli hutan-hutan kita, dan
membuat kita tidak menerima manfaat apapun dari barang-barang tambang
kita sendiri.
Akhirnya, untuk memulai pembangunan ekonomi kita secara
rasional, kita mau tidak mau harus menoleh kepada pengelolaan yang benar
atas kekayaan laut kita sendiri. Seorang ahli kehutanan telah
menyatakan kepada penulis, menurut perhitungannya dibutuhkan lima hingga
sepuluh tahun untuk membenahi kembali hutan-hutan kita. Termasuk di
dalamnya menjadikan propinsi-propinsi NTB dan NTT, kembali memiliki
hutan-hutan yang lebat, seperti ratusan tahun yang lampau.
Demikian pula, seorang ahli pertambangan telah menyatakan kepada
penulis, diperlukan waktu sampai 5 tahun untuk memperbaiki kesalahan
kontrak-kontrak kerja yang hanya menguntungkan perusahaan-perusahaan
asing saja, kecuali mengenai minyak bumi. Itu pun, kontrak kerjanya
masih harus diperbaiki, karena hanya mengutungkan pihak asing saja dan
merugikan kita sebagai bangsa.
Penetapan perusahaan asing yang
beroperasi di sini, dan hanya menguntungkan segelintir pejabat
pemerintahan saja, harus diperbaiki kembali dan uangnya masuk ke dalam
kas negara. Tentu saja ini memerlukan waktu dan kerja keras kita
bersama, baik dalam tubuh Pertamina, PT PGN (Perusahaan Gas Negara), PLN
(Perusahaan Listrik Negara) dan lain-lain.
Pertimbangan inilah yang
membuat penulis berani menetapkan bangsa kita memperoleh penghasilan
perorang pertahun sepuluh ribu dollar A.S. Sesuatu yang belum pernah
dicapai oleh bangsa-bangsa lain pada kurun waktu sekian itu.Dari apa
yang diuraikan di atas, jelaslah mengapa penulis sangat menghargai
keberanian moral Paul Krugman dengan kolom-kolom dan audio book nya itu. Memang, penulis pun memerlukan keberanian untuk itu.
Karena dunia media masih diliputi ketakutan mengatakan atau
mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi, maka kolom-kolom yang
berisikan keberanian moral mempertanyakan hal-hal yang sudah dianggap
“lumrah” haruslah dihargai sepatutnya.
Sampai hari inipun, tidak ada
kolom di negeri ini yang berani mempertanyakan “pemindahan” kasus hukum
secara tiba-tiba dijadikan kasus politik melalui MPR-RI, yang dialami
penulis melalui dua Pansus di DPR-RI sewaktu menjabat Presiden, apakah
itu melanggar konstitusi atau tidak? Ini semua tentu harus diselidiki di
masa depan bagi kepentingan bangsa dan negara.
Keberanian Paul Krugman untuk menudingkan jari ke arah wakil Presiden
A.S Dick Cheney harus dilihat dalam konteks ini. Bukan melalui kerangka
politik Partai Republik melawan Partai Demokrat di negeri Paman Sam itu.
Memang, menegakkan demokrasi berarti menegakkan kedaulatan hukum
sedangkan menegakkan kedaulatan hukum memerlukan keberanian moral yang
besar.
Karena itu penulis sangat menghargai didirikannya Aliansi Anti
Politisi Busuk yang sekarang tersebar di mana-mana di negeri kita.
Mudah-mudahan perjuangan mereka berhasil, karena memang itu adalah salah
satu tugas berat yang menunggu kita.
Karena penulis diperintahkan
mendirikan partai politik oleh beberapa orang kyai dan oleh PBNU
beberapa tahun yang lalu, tugas ini membuat penulis tidak dapat terlibat
langsung perjuangan kawan-kawan yang mendirikan aliansi tersebut.
Tapi
jika memang dalam tubuh partai politik yang penulis dirikan bersama
sejumlah kawan memang terdapat politisi seperti itu, penulis pun akan
mengambil tindakan hukum terhadap mereka, seperti yang mungkin diambil
oleh aliansi di atas. Memang mudah dikatakan, namun sulit dilaksanakan,
bukan?
Jakarta, 19 Januari 2004
Sumber: Kedaulatan Rakyat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar