Oleh: Abdurrahman Wahid
Pada suatu hari, penulis diundang ke sebuah tempat yang didirikan dengan maksud untuk menjadi tempat bagi kegiatan khalawah (mengasingkan diri, atau nyepi dari dunia ramai). Ritus khalwah
itu berlangsung selama 40 hari dan dilakukan setahun sekali saja,
selebihnya tempat itu digunakan untuk pengajian yang melayani seminggu
sekali.
Penulis lalu jadi ingat, ia dahulu melakukan hal yang sama di
pemakaman seorang syekh di desa Candi Mulyo. Ada semacam kepercayaan,
bahwa syekh tersebut dapat memberikan barokah (berkat) bagi seseorang
yang menuntut ilmu-ilmu keagamaan. Di tempat itu, penulis dan beberapa
orang teman menyelesaikan bacaan kitab suci Al-Qur’an dari waktu Maghrib
malam Jum’at hingga Ashar hari Jum’atnya, ritus yang dinamai khataman.
Ritus itu diadakan tiap hari Kamis malam Jum’at Pon itu, sehingga
otomatis setiap 5 hari sekali penulis dan kawan-kawan berjalan kaki 4 km
ke tanah pemakaman itu. Ini adalah contoh dari “kebiasaan” yang
dilakukan oleh para pelajar di pesantren, yaitu mereka yang dipanggil
“santri”, tidak jelas dari mana asal-usulnya.
Namun kita baca dalam
literatur-literatur keagamaan Islam dari Timur-Tengah, banyak
perjalanan dilakukan para guru/syekh untuk memperoleh tambahan
pengetahuan agama dari guru/syekh lain yang kemudian dianggap guru/syekh
mereka.
Umpamanya Imam Syafi’i “belajar” dengan cara demikian. Dapat dilihat dari karya utamanya, al-Umm. Dalam karya itu kita dapati kumpulan karya beliau, seperti kitab al Raddi ‘ala al-Awja’i. Seluruh karya yang besar itu berisikan penolakan (al-Raddi) atas “guru-guru sebelumnya itu. Budaya “santri keliling” (al-thaulab al-mutajawil) itu, adalah bagian dari budaya “menuntut ilmu dan berkah (Thalabul al-Ilmi),
yang sekarang masih dapat dijumpai sisa-sisanya di negeri kita.
Namun
tradisi santri tarekat, seperti yang disebutkan di atas belum pernah
penulis jumpai di luar tanah air kita. Itupun sekarang mengalami
perubahan, seorang santri akan belajar di tingkat pertengahan (Tsanawih)
di satu pesantren kemudian pindah belajar di tingkat lanjutan (Aliyah)
di pesantren lain. Nah, apakah akibat dari perubahan institusional
seperti itu kepada proses pencapaian ilmu pengetahuan agama Islam
tradisional? Belum dapat diketahui pada saat ini.
Demikian pula kegunaan literatur baru (al-Kitab al-Hadist) dan
literature lama (Al-Kitab Al-Mu’tabarah) sekaligus, tentu menghasilkan
pola pengetahuan agama Islam yang berbeda pula. Seperti contoh karya al-Jabiri
mengenai sumber-sumber ilmiah yang dapat digunakan dalam pengambilan
keputusan, tentu membawa pengaruhnya sendiri dalam studi yang dilakukan
para “santri baru” sekarang ini. Di samping “sumber” atau teks tertulis
(al-adillah al-naqliya) dan sumber rasional (al-adillah al-Aqliyyah)
beliau menambahkan jenis sumber ketiga yaitu dalil intuitifnya
(al-Addilah al-dzauiqiyah).
Banyak sekali ragam tradisi yang dilakukan oleh warga NU, termasuk peringatan kematian (khaul) yang dilakukan setiap tahun sekali dalam upacara-upacara khaul itu, selain membacakan tahlil dan do’a untuk yang diperingati itu, juga diberikan ceramah umum (tabligh)
oleh seseorang yang sangaja diundang untuk keperluan itu.
Penulis
sendiri seringkali diundang untuk memberikan ceramah seperti itu
beberapa waktu sekali dalam setahun. Ini merupakan jenis pemeliharaan
hubungan antara ulama dengan orang awam, di samping pertemuan para ulama
itu sendiri. Karenanya hal itu merupakan sebuah forum penting dalam
pembentukan pendapat bersama di lingkungan kaum muslimin/umat Islam.
Forum seperti ini sering kali menjadi ajang menentukan pandangan yang
dengan mudah oleh orang yang tidak mengerti duduk perkaranya dianggap
sebagai “curi start” dalam pemilihan umum.
Nah, kesalahan pandangan ini haruslah dikoreksi. Memang cukup banyak
penceramah/mubaligh yang melakukan “curi start” melalui forum-forum
tersebut, tetapi tidak selayaknya “pengajian “ dalam berbagai forum
dianggap memiliki motif seperti itu. Sama halnya dengan banyak warga
Polri minta uang dari kendaraan-kendaraan lewat, tetapi tentu saja
sangat gegabah untuk menganggap setiap pemeriksaan kendaraan sebagai
cara meminta uang.
Haruslah diingat arah semula dari sebuah hal yang
dilakukan di mana-mana, barulah dapat kita simpulkan pendapat kita
dengan tepat. Kalau tidak, kita akan menjadi lebih negatif dari keadaan
yang menginginkan “penyimpangan” seperti itu terjadi.
*****
Karenanya kita harus sangat berhati-hati dalam menentukan sikap atas
hal-hal seperti itu, yang dapat mengakibatkan keretakan serius dalam
hubungan antar golongan dalam kehidupan sebagai bangsa. Apalagi kalau
diingat, bahwa NU adalah sebuah kelompok keagamaan Islam tradisional
yang memiliki kekuatan tersendiri.
Prof. DR. Amien Rais menyatakan warga
NU ada 36 juta orang, sedangkan Muhammadiyah 28 juta orang. Pihak intel
Malaysia, beberapa tahun yang lalu melaporkan warga NU berjumlah 60
juta orang, sedangkan Muhammadiyah berjumlah 15 juta orang. Intel
militer kita sendiri (BAIS) memperkirakan para warga NU berjumlah
sekitar 90 juta orang, sedangkan jumlah Muhammadiyah 5 juta orang.
Karena itu, kita tidak tahu tepatnya beberapa orang jumlah warga
masing-masing. Tetapi yang jelas bahwa para pengikut NU yang berjumlah
jutaan orang itu memiliki tradisi masing-masing, termasuk pengajian
ibu-ibu, yang sering dianggap sebagai “curi start” kampanye. Dalam
proses pemilihan umum yang sedang kita hadapi, kita harus berhati-hati
dalam “mengelola” kehidupan kolektif bangsa.
Hal yang dikemukakan di
atas sama saja nilainya dengan kebiasaan orang untuk menghargai seorang
Sultan orang atau Raja tradisional di daerah. Kita dapat merebut
kekuasaan pemerintahan mereka, tetapi kita harus dapat menghormati
kedudukan non-formal yang mereka miliki sekarang ini. Dalam beberapa
hal, kita bahkan harus memberikan subsidi kemenangan kepada mereka. Ini
untuk mencegah agar kohesi kehidupan di sebuah daerah dapat terus
berlangsung tanpa gangguan berarti.
Bahkan sekarang ada fenomena berkembang secara luas. Banyak para
pemilik kendaraan umum (bus besar dan kecil) menyewakan kendaraan mereka
kepada para peziarah ke kuburan-kuburan kramat seperti makam para wali
sembilan di pulau Jawa. Jadi apapun tidakan yang diambil tentu saja
sangat berpengaruh atas perekonomian kita sendiri. Sama saja dengan
perjalanan Umrah ke tanah suci Mekkah.
Bila hal itu dilarang, hasilnya
akan menimbulkan protes besar dari kalangan kaum muslimin sedunia. Belum
lagi akibatnya terhadap begitu banyak maskapai penerbangan, usaha
perhotelan di tanah Arab sendiri dan sebagainya. Karenanya mengubah
sesuatu kedengarannya mudah dilakukan, tetapi sulit dilaksanakan bukan?
Jakarta, 1 Januari 2004
Sumber: Memorandum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar