Oleh: Abdurrahman Wahid
Ketika Ra’is Aam PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul ‘Ulama) KH. A.M Sahal
Mahfudz di Kajen mengawinkan putranya Abdul Ghoffar Rozin baru-baru ini,
penulis disuruh ikut memberikan sambutan dalam acara tersebut. Banyak
orang yang datang, termasuk dari kalangan muda NU sendiri. Ra’is Aam NU
yang sekaligus juga adalah Ketua MUI itu mengadakan perhelatan di
rumahnya, terutama mengundang sanak saudaranya dari berbagai tempat.
Karena penulis termasuk kemenakannya, entah yang keberapa, maka turut
mendapat tugas berbicara. Inilah keistimewaan beliau, berpihak tanpa
mengatakan berpihak. Kalau KH. A. Mustofa Bisri diperintahkan menyambut
atas nama keluarga pengantin pria, berarti ia mewakili KH. A.M Sahal
Mahfudz, yang berarti juga mewakili PBNU. Itupun diambil yang
tengah-tengah, dan bukan golongan tua dan juga bukan golongan muda. Nah,
penulis diminta menyambut dengan memberikan selamat kepada kedua
mempelai. Ini tidak bisa “ di baca” lain, diluar kenyataan bahwa penulis
adalah Ketua Umum Dewan Syura DPP PKB.
Dalam sambutan itu, penulis berbicara tentang perhelatan penting itu
dan PKB. Mengapakah ia berbuat demikian? Jawabnya sederhana sekali,
karena penulis ditanyai: apakah sasaran PKB dimasa-masa akan datang?
Karena bagaimanapun orang-orang NU harus tahu sasaran yang dicapai,
karena hanya dengan itu mereka tahu dan akan memberikan suara bagi PKB
atau tidak dalam pemilu. Pertayaan seperti ini menunjukkan bahwa, cukup
besar jumlah warga NU yang “merasa” harus ada kejelasan mengenai pilihan
untuk siapa suara mereka diberikan. Ini adalah sesuatu yang sangat
menyenangkan bagi penulis, mengingat sangat banyak warga NU yang meminta
“kepastian” sebelum menentukan pilihan.
Kesempatan memberikan sambutan dengan ucapan selamat kepada kedua
mempelai, digunakan penulis untuk berbicara kepada orang-orang NU yang
seperti itu. Karena merekalah yang nantinya akan menggerakkan
kawan-kawan NU yang lain sampai dengan pemilu. Dalam sambutan yang
paling banter hanya memakan waktu 15 menit, penulis mencoba menyakinkan
para warga NU tersebut, untuk nantinya memilih PKB. Lalu bagaimana
bagaimana halnya dengan para warga PKB yang tidak berasal dari NU?
Bukankah PKB sekarang sekarang sedang “laku” di berbagai kalangan, baik
kalangan etnis Tionghoa, kalangan non-muslim maupun kalangan-kalangan
lain. Jawabnya sederhana saja, yaitu bahwa nanti PKB akan berkampanye
antara lain dengan tema-tema yang sama bagi para warga NU. Hanya dengan
cara demikian, warga NU maupun non-NU dalam PKB sedikit banyak tahu
langkah-langkah yang tadinya sama sekali tidak diperhatikan.
*****
Nah, apa yang tadinya tidak diperhatikan itu, adalah proses
demokratisasi. Apa saja cakupan proses tersebut? Ini tidak pernah
diperhatikan dengan sungguh-sungguh, apalagi oleh kalangan NU yang
dianggap mewakili masyarakat pedesaan. Sedangkan kelompok-kelompok LSM
dan lain-lainnya di kawasan urban juga tidak begitu tanggap dengan hal
ini, karena dipenuhi dengan emosi. Maka pihak-pihak tersebut hanya
marah-marah pada tidak adanya demokrasi di negeri ini.
Paling jauh yang
dipersalahkan adalah pemerintahan yang ternyata bersemangat feodal dan
tidak begitu hirau terhadap proses demokratisasi. Sikap tidak demokratis
itu sudah begitu jauh merasuki jiwa bangsa ini, terbukti dari lahirnya
perundang-undangan yang tidak demokratis, yang dihasilkan oleh
lembaga-lembaga perwakilan rakyat kita, seperti DPR RI dan MPR-RI.
Karenanya perjuangan menegakkan demokrasi di negeri ini, sekarang
ditinggalkan orang dan tidak heranlah jika lalu rakyat banyak yang
‘berpaling’ kembali kepada Orde Baru.
Hal ini juga menghinggapi organisasi-organisasi politik kita. Jika
diperhatikan dengan teliti, partai-partai politik hanya sibuk dengan
diri mereka saja, dan sama sekali tidak hirau dengan terwujudnya
demokrasi yang benar di negeri kita. Paling tinggi mereka hanya berpikir
memenangkan pihak sendiri dalam pemilihan umum yang akan datang.
Bahkan
hampir semua partai dipenuhi oleh hal-hal tidak etis, yang jelas akan
mematikan demokrasi dalam jangka panjang. Dalam PKB sendiri, beberapa
orang melakukan hal seperti itu. Ada calon-calon legislatif (Caleg) yang
dinyatakan oleh KPU tidak lolos dari pemeriksaan. Diantaranya Caleg
yang ridak diakui ijazahnya, hanya karena ia lulusan pondok modern
Gontor. Nah, KPU mengembalikan berkas-berkasnya yang tidak diterima
dengan alasan ijazahnya palsu.
Setelah ditanyakan kepada Pengasuh Pondok Modern Gontor, dijawab bahwa
orang tersebut lulus dan memperoleh ijazah bersama beliau. Kalau orang
itu dianggap berijazah palsu maka ijazah lulusan yang berasal dari
lembaga yang sama juga akan palsu. Mengapakah hal ini terjadi? Menurut
penulis, karena ada salah seorang Caleg di bawah orang itu, yang ingin
naik menjadi Caleg “daftar jadi”.
Tindakan ini berarti bukan sekedar
pergantian nomor-nomor Caleg, tapi juga adalah “pembunuhan karakter” (character assassination)
terhadap seseorang yang tidak bersalah. Sangat menarik untuk melihat,
apa tindakan yang akan diambil DPP PKB mengenai hal ini, di masa-masa
yang akan datang. Ini adalah bagian upaya menegakkan demokrasi. Karena
“kesalahan informasi teknis”, KPU keliru mengambil kesimpulan. Dalam PKB
saja minimal ada tujuh orang Caleg yang menjadi korban dari upaya
pembunuhan karakter seperti itu. Bagaimana pula dengan parpol-parpol
lain, yang jauh “lebih seram” kasus-kasusnya seperti didengar penulis.
*****
Bahwa pemilu kita harus terus menerus diawasi karena adanya upaya-upaya
melanggar aturan main yang ada, maka proses demokratisasi kehidupan
bangsa kita melalui pemilu juga mengalami hambatan-hambatan. Namun,
penulis yakin bahwa pemilu ini akan dimenangkan oleh pihak yang
benar-benar menginginkan demokrasi. Keyakinan kuat ini didasari, menurut
penilaian penulis, pada kenyataan begitu banyak “aturan main” yang
dibuat KPU, yang benar-benar mencerminkan demokrasi.
Nah, NU mau tidak mau turut terlibat dalam proses raksasa ini. Karena
kebanyakan Caleg adalah orang-orang NU, dan para pemilih juga
berjuta-juta orang yang di dalamnya termasuk warga NU. Namun semua itu
tidak ada artinya bagi pengembangan demokrasi, jika elit NU sendiri
tidak ingin meyakinkan seperti itu.
Tentu saja banyak para pemimpin NU
yang tidak dapat merumuskan langkah-langkah menuju demokrasi itu
sendiri. Karenanya peran politik untuk mewujudkan demokrasi di negeri
ini diserahkan kepada PKB. Setidak-tidaknya ini adalah pandangan penulis
ketika diserahi tugas oleh PBNU untuk mendirikan sebuah parpol yang
akan menjadi wadah politik bagi wong NU pada umumnya.
Penulis memahami peranannya dalam PKB, sebagai “wakil” para ulama NU
dalam proses demokratisasi kehidupan bangsa itu. Penulis beranggapan,
ini berarti para ulama “terpanggil” untuk mendukung proses demokratisasi
kehidupan bangsa, setelah melihat bagaimana parpol-parpol lain yang
besar gagal melaksanakan tugas tersebut.
Penulis melihat, bahwa Ulama NU
(di tambah para pemimpin lain yang mendukung PKB) merasa mendapatkan
tugas “menyelamatkan” proses demokratisasi itu sendiri. Karenanya,
benarkah PKB akan konsisten dengan peran itu? Di sinilah kita menjadi
tertarik dengan banyak keputusan yang diambil DPP PKB akhir-akhir ini.
Proses demokratisasi itu memang mudah dikatakan, namun sulit
dilaksanakan, bukan?
Jakarta, 9 Februari 2004
Sumber: Gus Dur net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar