Keputusan Majelis Kasasi yang dibentuk Mahkamah Agung (MA) untuk
membebaskan Ir. Akbar Tandjung, menunjukkan dengan jelas kepada kita,
bahwa sebuah kejadian politik dapat saja mengakibatkan perubahan jalanya
sebuah proses kultural. Proses kultural/budaya dalam kasus ini, berupa
pemberian hukuman atas sebuah kesalahan yang diambil sebuah Pengadilan
Negeri dan dikokohkan oleh sebuah Pengadilan Tinggi, dianulir begitu
saja oleh Mahkamah Agung atas dasar pertimbangan-pertimbangan politik.
Kita terpaksa menyimpulkan sendiri adanya pertimbangan politis dalam
kasus ini, karena alasan-alasan hukum yang dikeluarkan Majelis Kasasi
tidak meyakinkan siapapun. Bukan hanya materinya saja, tetapi prosedur
penundaan pengumuman berkali-kali oleh Majelis itu, menunjukkan
kenyataan demikian.
“Hari hitam” di bidang hukum yang harus kita lalui akibat keputusan MA
itu, menunjukkan kepada kita, bahwa perjalanan “mematangkan” proses
demokratisasi di negeri kita memang tidak mudah, dan berlangsung
berliku-liku. Kenyataan ini saja sudah membuat kita merasa prihatin,
karena masih banyak pemimpin politik berbicara seolah-olah “proses
reformasi” berjalan dengan mudah dan dapat dipercayakan kepada pemimpin
resmi pemerintahan kita saat ini. Padahal, dalam kenyataan yang ada, hal
ini jauh dari kebenaran sejarah.
Proses yang terjadi justru menunjukkan
kebalikan dari hal itu. Pemerintahan hukum, sesuatu yang secara budaya
tadinya dianggap mudah dilakukan, ternyata mengalami hembatan-hambatan
politik yang luar biasa dahsyatnya. Karena itu, banyak para pejuang
demokratisasi di negeri ini berputus asa, dan membiarkan pihak-pihak
yang mengambil jalan pintas untuk menerapkan keinginan mereka seperti
revolusi sosial yang bersifat kompreherensif dan sebagainya.
Namun, ternyata cukup banyak para pejuang demokratisasi yang masih
dengan gigih memperjuangkan “perubahan konstitusional”, pada sejumlah
kelembagaan dan pola prilaku yang dijalankan lembaga-lembaga itu. Ini
menunjukkan, masih cukup banyak para pejuang demokratisasi yang ingin
menegakkan sebuah protes kultural menuju reformasi yang sebenarnya,
walaupun sangat banyak “hambatan-hambatan politis” yang harus dihadapi.
Justru sikap optimis seperti inilah yang sekarang lebih banyak kita
perlukan menghadapi sekian banyak “hambatan-hambatan politis” sekarang
ini.
Keyakinan akan kebenaran “perjuangan kultural” yang dimiliki para
pejuang demokratisasi, seperti terjadi di masa pemerintahan Orde Baru,
justru sekarang sedang diuji oleh “penyesuaian-penyesuaian politis” yang
ditimbulkan oleh berbagai kepentingan dari pihak pengikut pemerintahan
Orde Baru, yang sekarang berlaku seolah-olah menjadi pejuang reformasi.
Dengan kata lain, kalau dahulu gambarannya adalah pihak putih (pejuang
demokratisasi) melawan pihak hitam (para pelaksana pemerintahan Orde
Baru), maka sekarang telah timbul gambaran warna ketiga: abu-abu, yang
juga menjadi lawan yang putih. Yang putih adalah para pejuang
demokratisasi, yang berada diberbagai LSM, ormas, dan kalangan
indenpenden. Yang abu-abu adalah mereka yang tadinya menjadi pengikut
pemerintahan Orde Baru, dan sekarang memimpin berbagai lembaga
pemerintahan dan partai-partai politik. Yang hitam adalah mereka yang
menginginkan kembalinya kita kepada sistem kehidupan Orde Baru. Tidak
heranlah, jika gambaran keadaan yang semakin kompleks itu lalu membuat,
beberapa pengamat menyebutnya, munculnya orang yang “bosan” akan
keadaan dan ingin kembali kepada masa pemerintahan yang lalu.
Kondisi
itu paling tidak telah menunjukkan ketentraman yang diperlukan guna
hidup dengan tenang dan membawa kepastian akan keadaan disamping
tersedianya pekerjaan yang dapat memberikan jaminan akan pemenuhan
kebutuhan hidup minimal yang kita perlukan.
Yang diperlukan dalam hal ini adalah adanya lowongan pekerjaan
(employment opportunities). Padahal, sekarang ini pengangguran, baik
yang terbuka maupun yang terselubung, sudah berada pada angka 40 juta
orang pekerja. Tidak heran, jika banyak orang “merindukan” masa lampau
yang setidak-tidaknya telah memberikan kepastian akan pekerjaan. Apalagi
sekarang, setelah banyak perusahaan di tutup dan pemiliknya menarik
diri dari usaha di negara-negara sekitar, seperti Vietnam dan RRT.
Hal
ini didorong munculnya secara cepat oleh dua hal sekaligus: tidak
adanya kepastian hukum (legal certainty) dan tidak adanya iklim yang
menguntungkan usaha di negeri ini. Bahkan Peraturan Menteri (Permen)
dapat menjadi “hambatan” bagi penanaman modal di sini, seperti Permen
nomor 150/ 2000, yang dikeluarkan oleh Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi. Peraturan itu mengharuskan pemilik pabrik atau pemilik
perusahan membayar biaya tertentu jika ada tenaga kerja yang dikeluarkan
dari pekerjaannya, yang berkembang menjadi kompensasi yang sangat
memberatkan penanaman modal di sini.
Ini mengakibatkan sejumlah tenaga
kerja yang membuat kesalahan dalam pekerjaannya agar supaya mereka
dipecat dari pekerjaan dan memperoleh kompensasi berdasarkan aturan
tersebut, dengan dalih menjalankan sebuah peraturan. Padahal, dalam
sebuah “ekonomi maju” seperti Amerika Serikat, buruh tidak akan
memperoleh kompensasi apapun jika dipecat dari pekerjaan, karena
kesalahan sendiri. Belum lagi sekian banyak bentuk-bentuk KKN yang harus
dibayar oleh sang pemilik modal, jika ingin berusaha di sini.
Merajalelanya KKN, membuat ekonomi kita menjadi ekonomi berbiaya tinggi
(High costs economy). Disamping itu, parpol-parpol besar juga mencari
uang untuk kampanye pemilu, yang tentu saja menjadi beban ekonomi
nasional kita. Ada yang berupa “sumbangan” yang diminta dari BUMN, ada
kalanya berupa “sumbangan sukarela” dari sejumlah pengusaha kepada para
fungsionaris parpol-parpol besar itu.
Dengan tambahan beban yang sangat berat itu, terkadang hingga
bermilyar-milyar rupiah untuk sebuah parpol -yang sebenarnya menjadi
tanggungan mereka, karena dengan satu dan lain cara dapat dipindahkan
menjadi beban ekonomi nasional. Karenanya, setiap perkembangan politik
yang mengarah kepada pengunaan uang masyarakat oleh sementara parpol
harus dianggap sebagai beban ekonomi secara keseluruhan.
Ini berarti, kita harus bersabar melihat begitu banyak sumber-sumber
ekonomi dikelola secara berhati-hati. Sikap berhemat (prudence) seperti
itu, saat ini harus diberi prioritas, mengingat berbagai cara untuk
mengatasi krisis ekonomi-finansial yang berkepanjangan, memerlukan uang
dalam jumlah besar.. Justru kita harus sangat berhati-hati untuk menjaga
kelangsungan hidup ekonomi secara sehat. Jangan prioritaskan sikap
untuk main pinjam saja, apalagi dengan hutang-hutang luar negeri yang
semakin lama semakin membengkak. Jika hal ini tidak disadari, sebuah
bahaya besar sedang mengancam pembangunan kehidupan bangsa melalui
perekonomian yang sama kuat disemua bidang. Tanpa menyadari hal ini,
kita tidak akan mampu mengatasi krisis multidimensional.
Karena itu, kita harus berhati-hati dari sikap memenangkan
pertimbangan-pertimbangan politis, biasanya dengan cara meninggalkan
perkembangan kultural yang sudah terbukti kebaikannya. Kita harus berani
melihat kepentingan jangka panjang, kalau perlu dengan mengorbankan
kepentingan jangka pendek. Sikap berhati-hati sebagaimana disebutkan di
atas sangat kita perlukan dewasa ini. Memang sulit mengembangkan
pandangan itu pada saat ini, karena kita memang tidak sadar, bahwa kita
harus menjadi bangsa “pembuat barang” (manufacturing nation), bukan
hanya sekedar bangsa pedagang dan pengguna belaka. Namun ini mudah
dikatakan, tetapi sulit dilaksanakan, bukan?
Jakarta, 20 Februari 2004
Sumber; Memorandum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar