Oleh: Abdurrahman Wahid
Reformasi yang memakan korban jiwa para mahasiswa di Universitas
Trisakti (Grogol, Jakarta), Universitas Atmajaya di Semanggi dan
peristiwa Jembatan Semanggi (Jakarta), ternyata tidak mencapai tujuan
yang diharapkan. Mengapakah demikian karena reformasi itu ternyata telah
“dicuri” orang.
Bahkan sekarang muncul pengamatan, bahwa sebagian dari
perjalanan hidup bangsa kita, mendambakan kembali pemerintahan Orde
Baru. Setidak-tidaknya, pemerintahan tersebut telah memberikan
ketenangan yang kita perlukan. Seolah-olah dengan kembalinya ketenangan
seperti itu, akan mengembalikan pula lapangan kerja yang kini hilang.
Dan mereka lupa bahwa lapangan kerja itu hanya akan ada kalau investasi
luar dapat dikembalikan dalam jumlah besar.
Padahal, untuk itu
diperlukan kepatian hukum (Legal Certainty) yang kini dirasakan hilang.
Kepastian hukum itu hanya akan tegak kalau kedaulatan hukum terwujud
pula, sesuatu yang saat ini tidak pernah ada.
Bahkan KKN sekarang semakin menjadi-jadi, dan pihak yudikatif kita
semakin menunjukkan kebobrokan, karena tidak memiliki independensi
betapa banyak kasus-kasus hukum yang “dipeti es”kan, dan bahkan dibuat
keputusan salah secara hukum oleh berbagai tingkatan pengadilan kita.
Bahkan dengan subur, segala macam komisi diberikan untuk kasus-kasus
pelepasan aset-aset nasional.
Tentu saja tidak mungkin dalam keadaan
demikian menegakkan demokrasi dalam artian sebenarnya. Yang ada hanyalah
“demokrasi asal-asalan” yang tidak lain adalah demokrasi prosedural
belaka. Kita belum banyak beranjak dari demokrasi ‘ala’ pemerintahan
Orde Baru, yang mempunyai ciri adanya lembaga-lembaga demokrasi, namun
tidak berfungsi sebenarnya. Dalam keadaan demikian, “tradisi demokrasi”
dilupakan.
Jika “demokrasi kelembagaan” di masa pemerintahan Orde Baru tidak
membawa pemerintahan yang benar-benar demokratis, maka “demokrasi
prosedural” yang berjalan di negeri kita dewasa ini juga tidak
menunjukkan adanya demokrasi yang sesungguhnya. Karenanya kita masih
harus menunggu sekali lagi tindakan bersama, untuk mengakhiri keadaan
‘asal-asalan’ itu untuk menjadi demokrasi yang sebenarnya.
Jalan untuk
itu adalah pemilihan umum yang jujur dan bebas untuk memilih caleg-caleg
dan Presiden/Wakil Presiden yang akan datang. Di sini terdapat sebuah
pertanyaan sangat fundamental, mampukah kita memilih DPR-RI dan pimpinan
eksekutif negara yang mendorong terciptanya demokrasi yang sebenarnya?
Penulis dianggap terlalu optimis bahwa hal itu akan terjadi, karena
“pihak demokrat sebenarnya”, akan menenangkan kedua macam pemilu
tersebut. Hal itu berdasar keyakinan penulis yang beranggapan bahwa
“silent majority” (mayoritas membisu), akan mendukung kedua pemilu itu
melalui pemenangan pihak yang benar-benar menginginkan demokrasi,
sebagai persyaratan bagi munculnya bangsa kita sebagai bangsa yang besar
di atas panggung sejarah dunia.
Tentu saja pendirian penulis itu tidak
diikuti oleh para pengamat yang pandai-pandai itu. Karena penulis hanya
bersandarkan pada kemunculan sebuah kelompok pemilih/pemberi suara yang
tidak pernah bersuara dan selalu berdiam diri saja. Ini membuat penulis
dianggap tolol dan tidak mengerti jalannya kehidupan bangsa.
Tidak
apalah selama hasil akhirnya nanti memperlihatkan bahwa optimisme
penulis tidak diletakkan ditempat yang salah. Dahulu, Bung Hatta yang
menginginkan negara kita harus bersistem demokratis, juga dipersalahkan
karena dianggap tidak mengerti pendirian bangsa kita. Namun, setelah
melalui lika-liku sejarah yang panjang, bangsa kita telah siap untuk itu
sekarang.
Tetapi, jalan ke arah hasil pemilihan umum yang relatif jujur dan
terbuka memang tidak mudah. Diperkirakan orang, pemilu akan menghasilkan
keseimbangan baru antara berbagai parpol yang besar-besar dan Presiden
terpilihpun akan datang dari parpol-parpol tersebut. Karena itu, seorang
penting di negeri ini, mempunyai pendapat PDI Perjuangan akan bertambah
besar, dengan penambahan suara sekitar 3%, sehingga partai itu
memperoleh 42% suara.
Atas dasar ini, Megawati Soekarnoputri akan
menjadi calon Presiden dan kemungkinan besar akan terpilih kembali.
Pencalonan Wakil Presiden akan diperebutkan antara Golkar dan PKB. Mana
yang akan banyak perolehannya dalam pemilu legislative?
Kalau Golkar
mendapatkan suara lebih besar dari PKB dalam pemilihan legislative, maka
orang Golkar akan menjadi calon Wakil Presiden, sedangkan PKB akan
menempatkan orang sebagai ketua DPR-RI.
Tentu saja, “skenario” diatas akan terjadi manakala PDIP seperti
dikatakan akan bertambah 3% suara dalam pemilu tersebut. Kalau tidak
maka dengan sendirinya “keinginan” menempatkan Megawati Soekarnoputri
sebagai Calon Presiden, tidak akan terjadi secara otomatis. Karena itu,
apa yang dikatakan tokoh itu baru bersifat spekulasi, sebagaimana
perkiraan-perkiraan lain.
Dalam hal ini belum tentu perkiraan tersebut
menjadi kenyataan, karena itu sangat sulit untuk menerimanya sebagai
sebuah aksioma. Tentu saja, bagi orang-orang seperti penulis, perkiraan
itu dianggap sebagai ‘jauh panggang dari api’, alias jangan jadi ukuran
yang pasti. Demikian juga perkiraan-perkiraan lain yang semuanya
menunjukkan ketidakpastian. Karena itu, mengapa penulis harus
meninggalkan pendapatnya sendiri, yaitu keyakinan akan kemenangan pihak
yang memperjuangkan demokratisasi bagi negeri ini?
Karena itulah, penulis sebagai orang yang diperintahkan para ulama
untuk menjadi calon Presiden, tidak ragu-ragu dengan pencalonan dirinya
itu. Apapun anggapan orang tentang dirinya, bagi penulis diterima
sebagai “masukan” yang bersifat konstruktif. Bahkan orang-orang yang
bersaing untuk pencalonan tersebut, dilayani sama.
Ketika Jenderal purn.
TNI Wiranto memerintahkan orang untuk menghubungi penulis, guna turut
serta hadir dalam acara perkawinan di Pondok Pesantren Langitan (Tuban),
penulis bersama-sama orang ini datang ke tempat tersebut. Begitu juga,
ketika diajak Ir. Akbar Tanjung ke Hotel kecil milik istrinya di Lawean
(Solo), penulis pun tidak ragu-ragu akan hal itu. Walaupun dalam acara
di Kraton Sri Susuhunan Pakubuwono XII ia juga bertemu dengan Wiranto.
Keesokan malamnya ia bertemu calon lain, Prof. DR. Nurcholis Madjid di
Tulung Agung, dalam acara peringatan ulang tahun kematian KH. Mustaqim
Husein.
Tentu saja, sikap seperti itu bagi orang yang tidak mengerti akan
dianggap sebagai sesuatu yang “tidak benar”. Dalam hal ini, penulis
hanya bersikap obyektif dan terbuka kepada calon Presiden dari berbagai
pihak. Kalau ini dimanfaatkan oleh orang untuk kepentingannya sendiri,
tentu dapat juga dikatakan sebaliknya.
Artinya seseorang dapat saja
mengalami kerugian karena berhubungan dengan penulis secara fisik.
Apalagi, kalau itu dilakukan oleh tokoh yang akan menghadapi konvensi
partai seperti Golkar. Bahkan pertemuan yang tidak tampak dimuka umum
sekalipun, seperti Jenderal TNI Purn. Susilo Bambang Yudoyono, yang
sekarang menjadi Menko Polkam.
Hubungan yang bersandar pada obyektivitas
itu sangatlah menentukan bagi perkembangan keadaan di masa datang. Kita
belum lagi berbicara tentang tokoh-tokoh seperti Ryaas Rasyid, Siswono
Yudohusodo dan sebagainya.
Sebenarnya, penulis juga tidak tahu adakah para calon itu juga
berhubungan satu sama lain? Kalau ya, mengapakah hubungan mereka dengan
penulis saja yang diributkan oleh media massa? Mengapakah tidak dengan
yang lain-lain itu?
Penulis tidak berani mengemukakan jawaban dalam
tulisan ini, takut nanti akan “disalahkan” oleh keadaan, kalau tidak
terbukti demikian. Karenanya, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di
atas, diserahkan kepada masing-masing pihak. Sedangkan penulis memiliki
jawabannya sendiri yang belum tentu dianggap benar oleh tokoh-tokoh lain
itu.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa bangsa ini memiliki “silent
majority” yang sama sekali enggan berbicara mengenai pilihan mereka.
Tentu tokoh pilihan mereka akan memperjuangkan demokratisasi dalam
artian yang benar. Sesuatu yang mudah dikatakan, tetapi jauh lebih sulit
untuk dilaksanakan, bukan?
Jakarta, 24 Februari 2004
Sumber: Duta Masyarakat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar