Oleh Abdurrahman Wahid
Pada suatu pagi penulis naik kendaraan ke Surabaya, untuk menghadiri
rapat umum "perkenalan" Partai Pelopor, yang dipimpin Rahmawati
Soekarnoputri. Ternyata, penulis tidak dapat menemukan di mana tempat
pertemuan itu berlangsung. Dalam perjalanan ke Cengkareng itu, penulis
mendengarkan siaran sebuah stasiun radio FM dari Tanggerang, yang
menamakan diri Bandar Dangdut Indonesia.
Dengan cermat, penulis
mula-mula mendengarkan sebuah lagu yang bernada nasehat moral untuk
tidak ikut "masyarakat yang sudah gila". Ini disusul oleh sebuah
gambaran sepasang pengantin yang duduk di pelaminan. Kemudian disusul
dengan penceritaan tentang keadaan kini yang penuh dengan "pemberontakan
anak muda". Akhirnya, sebelum dibacakan warta berita, disodorkan sebuah
lagu lama dari masa ketika Oma Irama baru mulai "menyimpang" ke dunia
dangdut.
Penulis lalu teringat, bahwa Oma Irama berangkat dari dunia
musik pop Indonesia. Entah karena apa, ia lalu meyimpang ke dunia
dangdut, di mana ia menjadi raja, relatif hingga saat ini. Namanya
ditambah dengan singkatan Raden Haji sehingga lengkapnya berbunyi Rhoma
Irama.
Mula-mula, lagu-lagunya tidak memperoleh bentuk yang pasti. Cinta
kasih, penolakan pada materialisme, kebanggaan akan bagian budaya
Indonesia dan sebagainya, menjadi tema-tema yang digarapnya dengan
serius. Kemudian ia beralih kepada nasehat yang diperlukan orang muda
dalam berbagai bidang kehidupan. Lalu, ia mendendangkan demokrasi, yang
kala itu masih menjadi impian saja.
Dan selama beberapa tahun terakhir
ini, ia mengumandangkan tema-tema keagamaan dalam nyanyian-nyanyianny a.
Bahwa hal itu lalu diikuti oleh sejumlah penyanyi-penyanyi lain
dapatlah dipahami. Tetapi kemudian, ia menjadi "marah besar" ketika Inul
Daratista membuat goyangan "ngebor" dalam nyanyian-nyanyian dangdutnya,
dapatlah dipahami.
Namun ia lupa, konstitusi memberikan peluang kepada
Inul untuk berbuat demikian. Penulis membela hak konstitusional Inul,
tetapi tetap khawatir akan proses demoralisasi yang menjadi akibatnya,
tepat seperti Bang Haji (panggilan penulis untuk Rhoma Irama).
Dari "penyimpangan" Bang Haji ke musik dangdut itu, penulis yakin,
bahwa sebuah "pemberontakan massal" tengah terjadi dalam blantika musik
di negeri kita. Bukan hanya pemusik kawakan seperti Bang Haji, dengan
tatanan musiknya yang apik dan liriknya yang memukau, tetapi juga dengan
biramanya yang menyentuh hati kita yang sedikit demi sedikit
"ditariknya" ke langgam dangdut yang ditampilkannya. Ia menyanyi tidak
asal menyanyi, tetapi penuh dengan perasaan yang ditampilkan oleh jiwa
raganya.
Beberapa orang penyanyi dangdut sanggup mengikutinya, namun pada
umumnya kata-kata yang mereka kemukakan hanya bersifat vulgar, dan
permainan musik yang ditampilkan terdengar berantakan. Erotika "nafsu
seksual" yang bermutu rendah menjadi isi utama dari lagu-lagu dangdut
yang mereka sodorkan. Inilah yang membuat penulis jarang mendengarkan
lagu-lagu dangdut belakanngan ini: seleranya terlalu rendah.
Lagu-lagu dangdut yang bermutu tinggi, memang mengasikkan untuk
didengar. Kita harus pandai memilih mana lagu-lagu dangdut yang patut
didengar, dan mana yang tidak. Karena itu, musik dangdut bagi penulis
masih merupakan "penyimpangan" dari sebuah garis umum yang memerlukan
lyric yang baik kepada musik yang mengesankan dan langgam yang
mengasikkan.
Selain Bang Haji dan beberapa orang pemusik lain, penulis
masih mencatat bahwa sebagian besar penyanyi dangdut belum mencapai
tingkat kesenimanan yang dewasa dan hanya sekedar mencari uang dan
ketenaran melalui goyangan-goyangan erotis belaka.
Mereka belum mencapai
(atau mungkin tidak) tingkat kesenimanan yang matang untuk menghidupi
budaya bangsa. Kenyataan ini tidak terbantahkan oleh siapapun, termasuk
oleh para "dedengkot" musik itu sendiri. Sejarahlah yang akan
membuktikan benar atau tidaknya perkiraan ini.
***
Ortega Y Gasett filosof sosial Spanyol yang terkenal itu, dalam
karyanya berjudul "Rebellion de las massas" (Pemberontakan Massa)
mengemukakan bahwa massa rakyat di masyarakat-masyarak at modern ini,
akan menampilkan rasa seni yang "memberontak" terhadap kemapanan yang
ada. Pemberontakan seni itu akan diikuti oleh pemberontakan moral dan
seterusnya.
Seperti sekarang yang sering kita dengar bahwa
di"negeri-negeri maju", hukum memperkenankan perkawinan lesbi (sesame
perempuan) maupun perkawinan gay (antara sesama lelaki). Dalam
bacaan-pun, terjadi pemberontakan selera, dengan semakin banyaknya orang
"menikmati" berbagai komik dan novel mata-mata.
Perubahan nilai itu lebih dirangsang lagi oleh semakin menguatnya
dunia pariwisata. Jadilah dunia merupakan gado-gado yang berlainan
dengan versi yang selama ini dianut. Sebenarnya pemberontakan kultural
itu dalam beberapa hal seringkali justru dapat mengatasi pembatasan
terhadap "tingginya" ekspresi kesenian yang dibuat pada masa sebelumnya.
Hal ini dapat dilihat dalam perjalanan ludruk, yang menggunakan para
pemain pria untuk memainkan peran sebagai wanita. Contoh paling tepat
dalam hal ini adalah Tessy dalam pagelaran yang dipertunjukkan oleh
perkumpulan Srimulat. Ini jelas adalah pembelokan peran, yang di tempat
lain dimainkan oleh wanita sendiri. Sebab karena kuatnya pengaruh agama
yang tidak memperkenankan pemain wanita muncul di atas panggung, pada
waktu itu.
Sekarang, setelah munculnya wanita "menjadi biasa" di atas
panggung, maka "pemberontakan budaya" sebenarnya sudah tidak perlu lagi.
Namun, karena hal itu telah "dibiasakan" oleh publik yang menikmatinya,
maka kebutuhan untuk itu lalu menjadi sesuatu yang khas.
Pemberontakan
lalu menjadi kemapanan. Halnya sama dengan lagu dangdut. Ia bermula dari
respon terhadap lagu pop, yang kemudian "dengan perbaikan"
terus-menerus akhirnya menjadi sesuatu yang umum dan bisa bermutu
tinggi. Upaya manusia yang bernama Rhoma Irama sangat menentukan dalam
hal ini.
Tentu saja "perlawanan kultural" tidak selamanya dapat menghasilkan
mutu tinggi dalam produk-produk yang ditawarkan pada publik.
"Kekurangan" yang sekarang dirasakan oleh sejumlah penyanyi dangdut,
dengan", dapat dilihat sebagai upaya untuk menampilkan substitusi
(penggantian) melalui "goyangan-goyangan erotis, akibat ketidakmampuan
menyajikan persembahan lagu dangdut bermutu tinggi.
Maka terjadilah
"pemberontakan dalam pemberontakan", yang lahir dari ketidakmampuan
memberikan persembahan bermutu tinggi. Jika dilihat dari sudut pandang
ini, maka telah terjadi kesenjangan kultural di lingkungan lagu-lagu
dangdut juga, padahal ia tadinya adalah "pemberontak kultural" terhadap
kemapanan lagu-lagu pop dan seriosa.
Kemapanan kultural yang dialami
oleh lagu-lagu dangdut itu adalah perjalanan yang lumrah di bidang
budaya. Tak ada yang perlu ditangisi, dan tidak pula diperlukan "upaya
khusus" untuk menolong perkembangan sebuah bentuk budaya.
***
Justru hal-hal "lumrah" tersebut yang kini memerlukan perhatian
khusus dari para "perancang budaya". Lalu-lagu keroncong dan pagelaran
music daerah (seperti gamelan) justru harus dipikirkan eksistensinya.
Jika tak ada pagelaran wayang, tentu musik gamelan sudah lenyap dari
budaya Jawa. Begitu juga keroncong, yang sekarang sudah menjadi sesuatu
yang kuno dalam pandangan publik.
Film-film dengan ceritera-ceritera
yang menampilkan kekerasan dan "kejantanan" fisik, kini boleh dikata
sudah menjadi umum, sedangkan ceritera-ceritera yang dahulunya dianggap
umum, sekarang sudah menjadi langka. Walaupun dahulu "tokoh-tokoh keras"
seperti Alan Ladd, Burt Lancaster dan Gary Cooper menampilkan "sosok
tubuh koboy jagoan", namun dalam peragaan mereka tidak diperlihatkan
secara spesifik penggunaan kekerasan secara berlebihan.
Namun sekarang,
"figur biasa" justru menggelar tindak-tindak kekerasan yang
berlebih-lebihan.
Jadi, kita melihat bahwa "perlawanan kultural" terhadap kemapanan
yang ada, mengambil bentuk yang sangat mengerikan bagi para pendidik
atau orang tua yang "konvensional", karena terasa sekarang ini telah
terjadi perkembangan baru: penggunaan erotisme dan kekerasan secara
berlebih-lebihan. Sampai dimanakah perkembangan "nilai-nilai baru" itu
akan berlangsung, belum ada orang yang mampu memetakan landscape-nya
dengan baik, seperti yang dilakukan Gasett di atas.
Inilah sebabnya
mengapa mereka yang merasa prihatin atas nilai-nilai seksual dan
kekerasan yang baru, akhirnya menggunakan "bahasa defensive" (bertahan)
melalui khotbah agama dan "penjelasan moral" seperti banyak terjadi
dewasa ini.
Bahwa tempat-tempat peribadatan menjadi "ajang dialog"
mengenai kepatutan seni dan budaya, menunjukkan dengan jelas adanya
"krisis budaya" tersebut. Ini berarti terjadinya disfungsi (salah-peran)
yang harus dikembalikan ke jalan "yang benar".
Tentu saja ini hal hal
mudah untuk dikatakan, namun sulit dilaksanakan, bukan?
Juanda, 4 Januari 2004
Penulis adalah Budayawan dan Ketua Umum Dewan Syura DPP PKB
Tulisan ini dimuat di Harian Sinar Harapan pada Januari 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar