Film Pengkhianatan G 30 S PKI
yang di era Orde Baru dulu menjadi langganan wajib untuk ditonton
setiap tanggal 30 September, kini akan diputar lagi. TNI Angkatan Darat
(TNI AD) menginstruksikan seluruh prajuritnya untuk menggelar nonton
bareng film itu. Instruksi yang ditujukan untuk seluruh jajaran TNI AD
di daerah ini menyebar lewat pesan singkat.
"Tanggal 30 September
merupakan momen yang sangat penting bagi bangsa Indonesia. Saat ini
banyak sekali upaya pemutarbalikan fakta sejarah peristiwa 30 September
1965," kata Brigadir Jenderal Wuryanto, Kepala Pusat Penerangan TNI AD
melalui pesan singkat, Jumat, 15 September 2017.
Wuryanto berpendapat pemutaran film ini penting untuk mengajak
generasi muda membaca sejarah. Ia menilai, sejak era reformasi sejarah,
Pancasila, dan budi pekerti kurang diajarkan di bangku sekolah. Dia juga
menyebutkan sejumlah alasan lain yang mendasari lembaganya perlu
mengajak masyarakat menonton film tersebut.
Ada sejumlah fakta mengenai film G 30 S PKI
yang belum diketahui oleh mereka yang belum menonton. Terutama generasi
yang kini berusia 20 tahun ke bawah mengingat film ini disetop
penanyangannya sejak tahun 2002, usai masa reformasi. Berikut
fakta-fakta yang perlu diketahui.
1. Film G30S/PKI Buatan Pemerintah Soeharto dan Jadi Tontonan wajib
Sejak
ditayangkan tahun 1984, pemerintah Orde Baru memberlakukan setiap siswa
di segala lapisan, pegawai negeri sipil, perusahaan daerah untuk wajib
menonton film ini setiap tanggal 30 September. Selain diputar di layar
lebar beberapa kali, film itu akhirnya diputar di TVRI setiap tanggal 30
September pukul 10.00 WIB.
Karena wajib tonton, termasuk pengerahan pelajar dan pegawai pemerintah untuk menonton, filmG 30 S PKI
ini terpilih menjadi film yang paling banyak diputar dan ditonton.
Survei yang dilakukan Majalah TEMPO tahun 2002 menunjukkan, setidaknya
97 persen dari 1.101 siswa yang disurvei telah menyaksikannya dan
sekitar 87 persen menontonnya lebih dari satu kali.
Tayangan
film terhenti sejak era reformasi, tepatnya tahun 1998, di era Menteri
Penerangan Yunus Yosfiah. Banyak pihak meragukan kebenaran sejarah dalam
film tersebut, termasuk protes dari TNI AU yang merasa terus dipojokkan
dalam peristiwa berdarah itu.
2. Bagian dari Rekayasa dan Selera Orde Baru
Film
yang diproduseri Nugroho Notosusanto, dulu Menteri Pendidikan di era
Soeharto dibuat dengan anggaran Rp 800 juta. Arifin C Noer, sutradara
besar sejak masanya hingga kini, ditunjuk sebagai sutradara. Kepada
Tempo yang mewawancarainya pada 1984, Arifin mengaku menyadur menyadur
catatan sejarah dalam buku berjudul ‘Percobaan Kudeta Gerakan 30
September di Indonesia’. Kisah-kisah di dalamnya ditulis oleh sejarawan
militer Nugroho Notosusanto dan investigator Ismail Saleh.
Sejak diluncurkan ke layar kaca, film ini langsung dinominasikan
dalam ajang Festival Film Indonesia pada 1984. Meski akhirnya, hanya
Arifin yang berhasil membawa pulang Piala Citra sebagai penulis skenario
terbaik. Pada 1985, masih di Festival Film Indonesia, film
Pengkhianatan G30S/PKI mendapat penghargaan Piala Antemas untuk kategori
film unggulan terlaris 1984-1985 yang mencapai penonton sebanyak
699.282 orang. Rekor ini bertahan sampai tahun 1995.
Arifin, dalam wawancaranya kepada Tempo menyebut, ia sebetulnya memimpikan film Pengkhianatan G 30 S PKI
bisa menjadi sebuah film pendidikan dan renungan tanpa pesan kebencian
bagi setiap orang yang menontonnya. Arifin C Noer meninggal pada 28 Mei
1995 di usia 54 tahun.
3. Terfokus pada Soeharto dan Propaganda bahaya Komunis
Film G 30 S PKI
kian menampilkan sosok Soeharto saat menjadi Pangkopkamtib. Perannya
dalam operasi penumpasan PKI di hari-hari kelam setelah 30 September.
Film ini, bahkan sebelum ditayangkan secara resmi ternyata ditonton dulu
oleh Presiden Soeharto dan mereka yang terlibat dalam operasi
penumpasan itu.
Presiden bahwa saat itu mengatakan film itu dapat menggambarkan
kekejaman para pendukung komunis terhadap para jenderal dan rakyat
Indonesia. Sekaligus menjadi satu-satunya sumber sejarah yang
dipergunakan di tanah air. Sejak diputar terus menerus, masyarakat
dilarang mendiskusikan isi film itu, bahkan di ruang kelas seklipun.
Narasi penulisan sejarah di era itu, menjadikan versi film itu
4. Penuh Kekerasan dan darah
Film G 30 S PKI
dengan durasi panjang: 3 jam 37 menit itu dipenuhi dengan kekerasan,
ancaman, jeritan, tangis dan darah. Film itu dibuka dengan paparan
rencana aksi DN Aidit untuk merebut kekuasaan dari tangan Soekarno.
Mulai dari rapat-rapat rahasia, hingga tayangan yang memicu kemarahan
umat Islam seperti pembakaran buku-buku agama dan Alquran.
Film
ini, kian menunjukkan warna kekejian setelah adegan demi adegan penuh
darah dipertontonkan dalam setiap adegan. Mulai ditembaknya Jenderal
Ahmad Yani oleh pasukan Tjakrabirawa, hingga darah yang menetes dari
tubuh Ade Irma Nasution, juga proses penyiksaan terhadap 4 pahlawan
revolusi yang tertangkap hidup-hidup. Salah satu adegannya penyiletan ke
wajah salah satu korbannya oleh Gerwani, sebelum dibuang ke sumur tua
di Lubang Buaya.
5. Melenceng dari Fakta Sejarah
Film G 30 S PKI
itu menuai kritik dari para sejarawan, melenceng dari fakta sejarah.
Misalnya Dr Asvi Warman Adam menuliskan adanya kelemahan historis film
itu detail. Asvi menunjuk peta Indonesia yang berada di ruang Kostrad
sudah memuat Timor Timur sebagai bagian dari Indonesia. Faktanya, tahun
1965/1966 Timor Timur belum berintegrasi.
Fakta lainnya, protes dari perwira TNI salah satunya Marsekal Udara
Saleh Basarah yang mewakili TNI Angkatan Udara. Saleh Basarah dan para
perwira TNI AU keberatan karena film itu mengulangulang keterlibatan
perwira AURI pada peristiwa 30 September. Basarah adalah Kepala Staf
Angkatan Udara pada tahun 1973-1977. Saleh meninggal dunia pada 11
Februari 2010.
6. Tak Sesuai Semangat Reformasi
Penayangan
film itu akhirnya dihentikan pada September 1998, empat bulan setelah
Soeharto lengser. Yunus Yosfiah, Menteri Penerangan saat itu mengatakan,
pemutaran film bernuansa pengkultusan tokoh, seperti film
Pengkhianatan G 30 S PKI,
Janur Kuning, dan Serangan Fajar tidak sesuai lagi dengan dinamika
Reformasi. "Karena itu, tanggal 30 September mendatang, TVRI dan TV
swasta tidak akan menayangkan lagi film Pengkhianatan G30S/PKI," ujar
Yunus.
Sebagai gantinya, Departemen Penerangan bekerja sama
dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mempersiapkan sebuah film
yang terdiri dari tiga episode. Film berjudul Bukan Sekadar Kenangan itu
disutradarai Tatiek Mulyati Sihombing.
WDA | PUSAT DATA ANALISA TEMPO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar