Artikel ini pernah disampaikan oleh KH. MUKHTAR dr Gresik saat Khutbah Idul Adha di Masjid Agung Lmg.
*"PENYEBAB HATI TETAP GELISAH MESKI RAJIN BERIBADAH"*
Berikut ini sebuah cerita dari Abu Yazid Al-Busthami, yang insya Allah, dapat kita ambil pelajaran daripadanya;
Di samping seorang sufi, Abu Yazid Al Busthami juga adalah pengajar tasawuf. Di antara jamaahnya, ada seorang santri yang juga memiliki murid yang banyak.
Santri itu juga menjadi kyai bagi jamaahnya sendiri. Karena telah memiliki murid, santri ini selalu memakai pakaian yang menunjukkan kesalihannya, seperti baju putih, serban, dan wewangian tertentu.
Suatu saat, muridnya itu mengadu kepada Abu Yazid, “Tuan Guru, saya sudah beribadat tiga puluh tahun lamanya. Saya shalat setiap malam dan puasa
setiap hari, tapi anehnya, saya belum mengalami pengalaman ruhani yang
Tuan Guru ceritakan. Saya tak pernah saksikan apa pun yang Tuan
gambarkan.”
Abu Yazid menjawab,
“Sekiranya kau beribadat selama tiga ratus tahun pun, kau takkan
mencapai satu butir pun debu mukasyafah dalam hidupmu.”
Murid itu heran, “Mengapa, ya Tuan Guru?”
“Karena kau tertutup oleh dirimu,” jawab Abu Yazid.
“Bisakah kau obati aku agar hijab itu tersingkap?” pinta sang murid.
“Bisa,” ucap Abu Yazid, “tapi kau takkan melakukannya.”
“Tentu saja akan aku lakukan,” sanggah murid itu.
“Baiklah kalau begitu,”
kata Abu Yazid, “sekarang tanggalkan pakaianmu. Sebagai gantinya,
pakailah baju yang lusuh, sobek, dan compang-camping.
Gantungkan di lehermu kantung berisi kacang. Pergilah kau ke pasar, kumpulkan sebanyak mungkin anak-anak kecil di sana. Katakan pada mereka, “Hai anak-anak, barangsiapa di antara kalian yang mau menampar aku satu kali, aku beri satu kantung kacang.” Lalu datangilah tempat di mana jamaah kamu sering mengagumimu. Katakan juga pada mereka, “Siapa yang mau menampar mukaku, aku beri satu kantung kacang!”
Gantungkan di lehermu kantung berisi kacang. Pergilah kau ke pasar, kumpulkan sebanyak mungkin anak-anak kecil di sana. Katakan pada mereka, “Hai anak-anak, barangsiapa di antara kalian yang mau menampar aku satu kali, aku beri satu kantung kacang.” Lalu datangilah tempat di mana jamaah kamu sering mengagumimu. Katakan juga pada mereka, “Siapa yang mau menampar mukaku, aku beri satu kantung kacang!”
“Subhanallah, masya Allah, lailahailallah,” kata murid itu terkejut.
Abu Yazid berkata, “Jika
kalimat-kalimat suci itu diucapkan oleh orang kafir, ia berubah menjadi
mukmin. Tapi kalau kalimat itu diucapkan oleh seorang sepertimu, kau
berubah dari mukmin menjadi kafir.”
Murid itu keheranan, “Mengapa bisa begitu?”
Abu Yazid menjawab,
“Karena kelihatannya kau sedang memuji Allah, padahal sebenarnya kau
sedang memuji dirimu. Ketika kau katakan: Tuhan mahasuci, seakan-akan
kau mensucikan Tuhan padahal kau menonjolkan kesucian dirimu.”
“Kalau begitu,” murid itu kembali meminta, “berilah saya nasihat lain.”
Abu Yazid menjawab, “Bukankah aku sudah bilang, kau takkan mampu melakukannya!”
Cerita ini mengandung
pelajaran yang amat berharga. Abu Yazid mengajarkan bahwa orang yang
sering beribadat mudah terkena penyakit ujub dan takabur. “Hati-hatilah
kalian dengan ujub,” pesan Iblis.
Dahulu, Iblis beribadat
ribuan tahun kepada Allah. Tetapi karena takaburnya terhadap Adam, Tuhan
menjatuhkan Iblis ke derajat yang serendah-rendahnya.
Takabur dapat terjadi
karena amal atau kedudukan kita. Kita sering merasa menjadi orang yang
penting dan mulia. Abu Yazid menyuruh kita menjadi orang hina agar ego
dan keinginan kita untuk menonjol dan dihormati
segera hancur, yang tersisa adalah perasaan tawadhu dan
kerendah-hatian. Hanya dengan itu kita bisa mencapai hadirat Allah swt.
Orang-orang yang suka mengaji juga dapat jatuh kepada ujub. Mereka merasa telah memiliki ilmu yang banyak.
Suatu hari, seseorang datang kepada Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam, “Ya Rasulallah, aku rasa aku telah banyak mengetahui syariat Islam. Apakah ada hal lain yang dapat kupegang teguh?” Nabi menjawab, : ”Katakanlah: Tuhanku Allah, kemudian ber-istiqamah-lah kamu.”
Ujub seringkali terjadi
di kalangan orang yang banyak beribadat. Orang sering merasa ibadat yang
ia lakukan sudah lebih dari cukup sehingga ia menuntut Tuhan agar
membayar pahala amal yang ia lakukan. Ia menganggap ibadat sebagai
investasi. Orang yang gemar beribadat cenderung jatuh pada perasaan
tinggi diri. Ibadat dijadikan cara untuk meningkatkan statusnya di
tengah masyarakat. Orang itu akan amat tersinggung bila tidak diberikan
tempat yang memadai statusnya. Sebagai seorang ahli ibadat dan ahli
dzikir, ia ingin disambut dalam setiap majelis dan diberi tempat duduk
yang paling utama.
Tulisan ini saya tutup dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnad-nya;
Suatu hari, di depan
Rasulullah saw Abu Bakar menceritakan seorang sahabat yang amat rajin
ibadatnya. Ketekunannya menakjubkan semua orang. Tapi Rasulullah tak
memberikan komentar apa-apa. Para sahabat keheranan. Mereka
bertanya-tanya, mengapa Nabi tak menyuruh sahabat yang lain agar
mengikuti sahabat ahli ibadat itu.
Tiba-tiba orang yang dibicarakan itu lewat di hadapan majelis Nabi. Ia kemudian duduk di tempat itu tanpa mengucapkan salam. Abu Bakar berkata kepada Nabi, “Itulah orang yang tadi kita bicarakan, ya Rasulallah.”
Nabi hanya berkata, “Aku lihat ada bekas sentuhan setan di wajahnya.”
Nabi lalu mendekati
orang itu dan bertanya, “Bukankah kalau kamu datang di satu majelis kamu
merasa bahwa kamulah orang yang paling salih di majelis itu?” Sahabat
yang ditanya menjawab, “Allahumma, na’am. Ya
Allah, memang begitulah aku.” Orang itu lalu pergi meninggalkan majelis Nabi.
Allah, memang begitulah aku.” Orang itu lalu pergi meninggalkan majelis Nabi.
Setelah itu Rasulullah
saw bertanya kepada para sahabat, “Siapa di antara kalian yang mau
membunuh orang itu?” “Aku,” jawab Abu Bakar.
Abu Bakar lalu pergi tapi tak berapa lama ia kembali lagi, “Ya Rasulallah, bagaimana mungkin aku membunuhnya? Ia sedang ruku’.”
Nabi tetap bertanya,
“Siapa yang mau membunuh orang itu?” Umar bin Khaththab menjawab, “Aku.”
Tapi seperti juga Abu Bakar, ia kembali tanpa membunuh orang itu,
“Bagaimana mungkin aku bunuh orang yang sedang bersujud dan meratakan
dahinya di atas tanah?” Nabi masih bertanya,
“Siapa yang akan membunuh orang itu?” Imam Ali bangkit, “Aku.” Ia lalu keluar dengan membawa pedang dan kembali dengan pedang yang masih bersih, tidak berlumuran darah, “Ia telah pergi, ya Rasulullah.”
Nabi kemudian bersabda, “Sekiranya engkau bunuh dia. Umatku takkan pecah sepeninggalku….”
Dari kisah ini pun kita dapat mengambil hikmah:
Selama di tengah-tengah kita masih terdapat orang yang merasa dirinya paling salih, paling berilmu, dan paling benar dalam pendapatnya, pastilah terjadi perpecahan di kalangan kaum muslimin.
Selama di tengah-tengah kita masih terdapat orang yang merasa dirinya paling salih, paling berilmu, dan paling benar dalam pendapatnya, pastilah terjadi perpecahan di kalangan kaum muslimin.
Nabi memberikan pelajaran
bagi umatnya bahwa perasaan ujub akan amal salih yang dimiliki adalah
penyebab perpecahan di tengah orang Islam. Ujub menjadi penghalang
naiknya manusia ke tingkat yang lebih tinggi. Penawarnya hanya satu,
belajarlah menghinakan diri kita. Seperti yang dinasihatkan Abu Yazid
Al-Busthami kepada santrinya.
Sumber : Muslim moderat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar